Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Selasa, 25 Januari 2011

Adab Terhadab Al-Quran

Share |
Setiap muslim harus meyakini kesucian Kalam Allah, keagungannya, dan keutamaannya di atas seluruh kalam (ucapan). Al-Qur'anul Karim itu Kalam Allah yang di dalamnya tidak ada kebatilan. Al-Qur'an memberi petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Allah Ta'ala.

Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur'an. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkan-nya." (HR. Bukhari).

Dalam riwayat Imam Muslim dijelaskan: "Bacalah Al-Qur'an, sesungguhnya Al-Qur'an itu akan menjadi syafa'at di hari Qiyamat bagi yang membacanya (ahlinya)." (HR. Muslim).

Wajib bagi kita menghalalkan apa yang dihalalkan Al-Qur'an dan meng-haramkan apa yang diharamkannya. Diwajibkan pula beradab dengannya dan berakhlaq terhadapnya. Di saat membaca Al-Qur'an seorang muslim perlu memperhatikan adab-adab berikut ini untuk mendapatkan kesempurnaan pahala dalam membaca Al-Qur'an:
  • Agar membacanya dalam keadaan yang sempurna, suci dari najis, dan dengan duduk yang sopan dan tenang. Dalam membaca Al-Qur'an dianjurkan dalam keadaan suci. Namun apabila dia membaca dalam keadaan najis, diperbolehkan dengan Ijma' umat Islam. Imam Haromain berkata; orang yang membaca Al-Qur'an dalam keadaan najis, dia tidak dikatakan mengerjakan hal yang makruh, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu yang utama. (At-Tibyan, hal.58-59).

  • Membacanya dengan pelan (tartil) dan tidak cepat, agar dapat menghayati ayat yang dibaca. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    "Siapa saja yang membaca Al-Qur'an (khatam) kurang dari tiga hari, berarti dia tidak memahami" (HR. Ahmad dan para penyusun Kitab-Kitab Sunan).
    Dan sebagian kelompok dari generasi pertama membenci pengkhataman Al-Qur'an sehari semalam, dengan dasar hadits di atas. Rasulullah telah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk mengkhatamkan Al-Qur'an setiap satu minggu (7 hari). (Muttafaq Alaih). Sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Mas'ud, Utsman bin Affan, Zaid bin Tsabit , mereka mengkhatamkan Al-Qur'an sekali dalam seminggu.

  • Membaca Al-Qur'an dengan khusyu'. Dengan memeperlihatkan duka cita atau menangis, karena sentuhan pengaruh ayat yang dibaca bisa menyentuh jiwa dan perasaan. Rasulullah n bersabda:
    "Bacalah Al-Qur'an dan menangislah, apabila kamu tidak menangis maka usahakan seakan-akan menangis (karena ayat yang engkau baca). (HR. Al-Bazzar).
    Di dalam sebuah ayat Al-Qur'an, Allah Ta'ala menjelaskan sebagian dari sifat-sifat hambaNya yang shalih:
    " Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu' (Al-Isra': 109).

  • Agar membaguskan suara di dalam membacanya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
    "Hiasilah Al-Qur'an dengan suaramu" (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
    Di dalam hadits lain dijelaskan:
    "Tidak termasuk umatku orang yang tidak melagukan Al-Qur'an" (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
    Maksud hadits di atas, membaca Al-Qur'an dengan susunan bacaan yang jelas dan terang makhroj hurufnya, panjang pendeknya bacaan, tidak sampai keluar dari ketentuan kaidah Tajwid.

  • Membaca Al-Qur'an dimulai dengan Isti'adzah.
    Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
    "Dan bila kamu akan membaca Al-Qur'an, maka mintalah perlindungan kepada Allah dari (godaan-godaan) syaithan yang terkutuk" (An-Nahl: 98).
    Apabila ayat yang dibaca dimulai adri awal surat, setelah isti'adzah terus membaca Basmalah, dan apabila tidak di awal surat cukup membaca isti'adzah. Khusus surat At-Taubah walaupun dibaca mulai awal surat tidak usah membaca Basmalah, cukup dengan membaca isti'adzah saja.

  • Membaca Al-Qur'an dengan berusaha mengetahui artinya dan memahami inti dari ayat yang dibaca dengan beberapa kandungan ilmu yang ada di dalamnya. Firman Allah Ta'ala:
    "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an, ataukah hati mereka terkunci? (Muhammad: 24).

  • Membaca Al-Qur'an dengan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dan tidak perlu membacanya dengan suara yang terlalu keras atau di tempat yang banyak orang. Bacalah dengan suara yang lirih atau dalam hati secara khusyu'. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    "Orang yang terang-terangan (di tempat orang banyak) membaca Al-Qur'an, sama dengan orang yang terang-terangan dalam shadaqah" (HR. Tirmidzi, Nasa'i, dan Ahmad).
    Dalam hadits lain dijelaskan:
    "Ingatlah bahwasanya setiap hari dari kamu munajat kepada Rabbnya, maka janganlah salah satu dari kamu mengganggu yang lain, dan salah satu dari kamu tidak boleh mengangkat suara atas yang lain di dalam membaca (Al-Qur'an)" (HR. Abu Dawud, Nasa'i, Baihaqi dan Hakim), ini hadits shahih dengan syarat Shaikhani (Bukhari-Muslim).
    Jadi jangan sampai ibadah yang kita lakukan tersebut sia-sia karena kita tidak mengindahkan sunnah Rasulullah dalam melaksanakan ibadah membaca Al-Qur'an. Misalnya, dengan suara yang keras pada larut malam, yang akhirnya mengganggu orang yang istirahat dan orang yang shalat malam.

  • Dengarkan bacaan Al-Qur'an
    Jika ada yang membaca Al-Qur'an, maka dengarkanlah bacaannya itu dengan tenang, Allah Ta'ala berfirman:
    "Dan tatkala dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, semoga kamu diberi rahmat" (Al-A'raaf: 204).

  • Membaca Al-Qur'an dengan saling bergantian.
    Apabila ada yang membaca Al-Qur'an, boleh dilakukan membacanya itu secara bergantian, dan yang mendengarkannya harus dengan khusyu' dan tenang. Rasulullah n bersabda:
    "Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Qur'an dan saling mempelajarinya kecuali akan turun atas mereka ketenangan, dan mereka diliputi oleh rahmat (Allah), para malaikat menyertai mereka, dan Allah membang-ga-banggakan mereka di kalangan (malaikat) yang ada di sisiNya." (HR. Abu Dawud).

  • Berdo'a setelah membaca Al-Qur'an. Dalam sebuah riwayat dijelas-kan, bahwa para sahabat apabila setelah khatam membaca Al-Qur'an, mereka berkumpul untuk berdo'a dan mengucapkan: 'Semoga rahmat turun atas selesainya membaca Al-Qur'an'. Dan sebuah hadits dijelaskan, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallah 'anhu bahwasanya apabila ia telah khatam membaca Al-Qur'an, ia mengumpulkan keluarganya dan berdo'a. (HR Abu Dawud).
Setiap orang Islam wajib mengatur hidupnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan harus dipelihara kesucian dan kemuliaannya, serta dipelajari ayat-ayatnya, dipahami dan dilaksanakan sebagai konsekuensi kita beriman ke-pada Al-Qur'an. (Abu Habiburrahman)

Sumber:
Kitab Minhajul Muslim
Fiqih Sunnah
At-Tibyan Fi Adaabi Hamlatil Qur'an

Cara Memahami Nash Al Qur'an

Share |
1. Memahami Ayat dengan Ayat

Menafsirkan satu ayat Qur'an dengan ayat Qur'an yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Qur'an itu yang menafsirkan (baca, menerangkan) makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya: "Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati." (Yunus : 62)
Lafadz auliya' (wali-wali), diterangkan/ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus : 63)

Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah para wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan batil yang lain. Dalam hal ini, karamah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena karamah itu bisa saja tampak bisa pula tidak.

Adapun hal-hal aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang ahli bid'ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan karamah, tetapi sihir seperti yang difirmankan Allah, artinya: "Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka." (Thaha: 66)

2. Memahami Ayat Al-Qur'an dengan Hadits Shahih

Menafsirkan ayat Al-Qur'an dengan hadits shahih sangatlah urgen, bahkan harus. Allah menurunkan Al-Qur'an kepada Nabi Shallallahu alaihi wasalam . Tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman-Nya, artinya: "...Dan Kami turunkan Qur'an kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan." (An-Nahl : 44)
Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam bersabda, artinya: "Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Al-Qur'an dan yang seperti Qur'an bersama-sama." (HR. Abu Dawud)

Berikut contoh-contoh tafsirul ayat bil hadits:
  • Ayat yang artinya: "Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya." (Yunus : 26)
    Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda, artinya: "Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang diberikan kepada mereka." Kemudian beliau membaca ayat ini : Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Surga) dan tambahannya. " (HR. Muslim).
  • Ketika turun ayat, yang artinya: "Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukan iman mereka dengan kezhaliman...." (Al-An'am : 82)
    Menurut Abdullah bin Mas'ud, para sahabat merasa keberatan karena-nya. Lantas merekapun bertanya, "Siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya, ya Rasul?" Beliau jawab, "Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kezaliman di ayat itu adalah syirik. Tidakkah kalian mendengar/ucapan Lukman kepada putranya yang berbunyi: "Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh suatu kezaliman yang sangatlah besar." (HR. Muslim)

    Dari ayat dan hadits itu dapat dipetik kesimpulan : Kezaliman itu urutan-nya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat

Merujuk kepada penafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat Qur'an seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, di samping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari beliau. Berikut ini beberapa contoh tafsir dengan ucapan sahabat, tentang ayat yang artinya: "Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas 'arsy." (Thaha 5)

Al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu Abbas dan para ahli tafsir lain, istawa itu maknanya irtafa'a (naik atau meninggi).

4. Harus Mengetahui Gramatika Bahasa Arab

Tidak diragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsiri ayat-ayat Qur'an, mengetahui gramatika bahasa Arab sangatlah urgen. Karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah, artinya:
"Sungguh Kami turunkan Al-Qur'an dengan bahasa Arab supaya kamu memahami." (Yusuf : 2)
Tanpa mengetahui bahasa Arab, tak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Qur'an. Sebagai contoh ayat: "tsummas tawaa ilas samaa'i". Makna istawaa ini banyak diperselisihkan. Kaum Mu'tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang salah. Tidak sesuai dengan bahasa Arab. Yang benar, menurut pendapat para ahli sunnah waljamaah, istawaa artinya 'ala wa irtafa'a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya dengan Al-'Ali (Maha Tinggi).

Anehnya, banyak orang penganut faham Mu'tazilah yang menafsiri lafaz istawa dengan istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab tafsir, tauhid, dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas menging-kari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits shahih, perkataan para sahabat dan para tabi'in, Mereka mengingkari bahasa Arab di mana Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa itu. Ibnu Qayyim berkata, Allah memerin-tahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan "hitthotun" (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka pelesetkan atau rubah menjadi "hinthotun" (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu'tazilah yang mengartikan istawa dengan arti istaula.

Contoh kedua, pentingnya Bahasa Arab dalam menafsiri suatu ayat, misalnya ayat yang artinya:
"Maka ketahuilah, bahwa tidak ada ilah (yang haq) melainkan Allah..." (Muhammad: 19).
Ilah artinya al-ma'bud (yang disembah). Maka kalimat Laa ilaaha illallaah, artinya laa ma'buuda illallaah (tidak ada yang patut disembah kecuali Allah saja). Sesuatu yang disembah selain Allah itu banyak; orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nasrani menyembah Isa Al-Masih, tidak sedikit dari kaum Muslimin sangat disesalkan karena menyembah para wali dan berdo'a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Nabi Shallallahu alaihi wasalam berkata, artinya: "Doa itu ibadah". (HR At-Tirmidzi).

Nah, karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat di atas mesti ditambah dengan kata haq sehingga maknanya menjadi Laa ma'buuda haqqon illallaah (tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah). Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang batil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya: "Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang batil." (Luqman: 30).

Dengan diartikannya lafadz ilah menjadi al-ma'buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan orang Islam yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggianNya di atas 'Arsy dengan memakai dalil ayat berikut, yang artinya: "Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi." (Az-Zukhruf: 84).

Sekiranya mereka memahami arti ilah dengan benar, nisacaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah diterangkan di atas, al-ilah itu artinya: al-ma'buud sehingga ayat itu artinya menjadi : "Dan Dialah Tuhan ( yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi."

Contoh ketiga, pentingnya mengetahu gramatika bahasa Arab untuk supaya bisa menafsiri ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan tapi ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, firman iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in. artinya: "Hanya kepadamu kami menyembah, dan hanya kepadamu pula kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).
Didahulukannya kata iyyaka atas kata kerja na'budu dan nasta'in , ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi laa na'budu illaa iyyaaka walaa nasta'iinu illaa bika yaa Allaah, wanakhusshuka bil 'ibaadah wal isti'aanah wahdaka. (kami tidak menyembah siapapaun kecuali hanya kepadaMu. Kami tidak mohon pertolongan kecuali hanya kepadaMu, ya Allah. Dan hanya kepadaMu saja kami beribadah serta memohon pertolongan).

5. Memahami Nash Al-Qur'an dengan Asbabun Nuzul

Mengetahui sababun nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur'an dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya: "Katakanlah: Panggillah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkan-nya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengha-rapkan rahmatNya, serta takut akan adzab-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti." (Al-Israa': 56-57).

Ibnu Mas'ud berkata, segolongan manusia ada yang menyembah segolongan jin, lantas sekelompok jin itu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadatannya, maka turunlah ayat: Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka (Muttafaq 'alaih).
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para nabi atau para wali. Tapi, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para nabi atau wali, tentu tawassul semacam itu boleh-boleh saja.

Demikian penjelasan Muhammad Ibn Jamil Zainu dalam Kitab kaifa Nafhamul Qur'an. (Dept. Ilmiyah)


Rujukan: Muhammad Ibn Jamil Zainu, Kaifa Nafhamul Qur'an , terjemahan Masyhuri Ikhwani: Pemahaman Al-Qur'an, Gema Risalah Press Bandung, cetakan pertama, 1997

Beberapa Kesalahan Tehadap Al Qur'an

Share |
I. TENTANG BERKUMPUL UNTUK MEMBACA AL QUR'AN

1. Membaca Al Qur'an secara berjama'ah (koor)

Membaca Al Qur'an termasuk ibadah yang paling afdhal, dan pada prinsipnya hendaklah cara membaca ini disesuaikan dengan cara yang pernah dilakukkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya Radhiallaahu anhum . Membaca Al Qur'an dengan satu suara tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabatnya, akan tetapi mereka membaca sendiri-sendiri atau salah satu dari mereka membaca dan yang lainnya mendengarkan bacaan tersebut. Namun jika tujuannya untuk belajar mengajar Insya Allah tidak apa-apa.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam pernah memerintahkan kepadanya untuk membaca Al Qur'an maka ia berkata: Wahai Rasulullah, apakah aku akan membaca Al Qur'an untukmu, padahal Al Qur'an itu diturunkan kepadamu? Maka beliau bersabda: "Sesungguhnya aku senang untuk mendengarkannya dari selainku." (HR. Al Bukhari No. 5050).

Selayaknya kita mencontoh apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para sahabatnya, karena beliau pernah bersabda:
"Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan maka perbuatan itu tertolak." (HR. Al Bukhari)

2. Membagi bacaan kepada orang-orang yang hadir

Membagi bacaan kepada hadirin, si fulan juz sekian, fulan yang lain sekian, agar masing-masing membaca, meskipun genap seluruh juz dalam Al Qur'an tidak di hitung sebagai khatam Al Qur'an. Kadang mereka berkeyakinan adanya barokah dari bacaan orang yang selainnya sehingga saling mendukung dan dianggap sebagai khatam Al Qur'an. Cara ini tidak dibenarkan.

3. Bacaan Al Fatihah setelah shalat fardhu atau witir dalam shalat malam

Membaca Al Qur'an adalah amal yang utama, namun seseorang tidak diperbolehkan mengkhususkan membaca surat atau ayat tertentu pada waktu tertentu dan dengan tujuan tertentu kecuali apa-apa yang telah dikhususkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam seperti membaca Al Fatihah untuk meruqyah atau dalam tiap rakaat shalat, membaca ayat kursi, Al Ikhlas, Al Falaq dan An-Nas ketika membaringkan badan untuk tidur. Adapun membaca Al-Fatihah setelah shalat fardlu atau shalat witir tidak pernah dilakukan oleh nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam .

4. Membaca Al Fatihah setelah selesai berdo'a

Tidak pernah ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat membaca surat tersebut setelah selesai berdo'a.

II. TENTANG KHATAMAN AL QUR'AN

1. Walimah (perayaan) khataman Al Qur'an.

Walimah untuk merayakan khatam Al Qur'an sama sekali tidak pernah ada pada masa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam ataupun khulafaur rasydin Radhiallaahu anhum. Bahkan merupakan amalan baru yang diada-adakan. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda:
Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, padahal ia bukan darinya maka ia tertolak." (HR. Al Bukhari)

2. Membagikan makanan/snack dan minuman setelah khatam Al Qur'an di bulan Ramadhan

Pada dasarnya jika ini dilakukan secara kebetulan karena sedang ada makanan atau sesekali saja maka menurut fatwa Lajnah Daimah (Lembaga fatwa di Arab Saudi) tidak jadi soal. Yang jadi permasalahan ialah jika hal itu dilakukan secara rutin dan diyakini sebagai kelengkapan atau kesempurnaan dari ibadah membaca Al Qur'an, sedangkan kita semua tahu bahwa ibadah yang paling baik adalah yang mencocoki petunjuk Nabi baik ketika permulaan, pertengahan maupun penutupnya.

III. TENTANG BACAAN AL QUR'AN UNTUK MAYIT

1. Bacaan Al Qur'an untuk mayit

Perbuatan ini tidak ada dasar dan landasannya. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan para shahabat tidak pernah memberi petunjuk tentang hal ini, sedangkan beliau bersabda, dalam sebuah khutbah di hari Jum'at:
"Adapun sesudahnya, sungguh sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah. Sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Salam dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid'ah), sedang setiap bid'ah itu kesesatan." (HR. Muslim)
Demikian pula membaca Al Fatihah untuk orang yang telah meninggal
Tidak pernah ada nash yang menjelaskan masalah ini oleh karenanya tidak selayaknya kita melakukan amalan tersebut. Karena pada dasarnya ibadah itu terlarang sehingga ada dalil yang menjelaskan kebolehannya (disyariatkannya).

2. Membaca Al Qur'an untuk kedua orangtua yang telah meninggal

Ada sebagian pendapat yang membolehkan membaca Al Qur'an dan mengirimkan pahalannya untuk kedua orangtua, akan tetapi perbuatan ini tidak ma'tsur dan tidak ada dalil yang mendasarinya. Jika hanya dilakukan sesekali saja dan tidak mengkhususkan waktu tertentu menurut fatwa Syaikh Abdurrahman Al Jibrin (anggota Dewan Ulama Arab Saudi) merupakan sesuatu yang bisa ditolerir.

3. Bacaan Al Fatihah untuk kedua orang tua

Mengkhususkan bacaan Al Fatihah untuk orang yang telah mati, baik kedua orang tua atau selainya adalah bid'ah. Tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam. Yang disyariatkan adalah mendo'akan mereka, ketika shalat atau setelahnya, beristighfar dan memohonkan ampunan untuk mereka serta berdoa sesuai dengan yang diajarkan.

IV. TENTANG MEMBACA AL QUR'AN DIATAS KUBUR

1. Membaca Al Qur'an di atas kubur seseorang

Seorang muslim wajib untuk meniti jalan hidup pendahulu dari umat ini (Salaful Ummah) baik shahabat, Tabi'in dan para pengikutnya, yang mereka semua berada diatas petunjuk dan kebaikan.
Membaca Al Qur'an diatas kubur tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabatnya, oleh karena itu tidak pantas bagi kita mengada-adakannya. Karena perkara yang diada-adakan dalam syariat adalah bid'ah, dan setiap bid'ah pasti sesat.

Adapun berdo'a untuk mayit disisi kubur atau ketika melewati kubur maka tidak apa-apa, yaitu dengan cara berhenti sejenak lalu berdo'a untuknya seperti mengucapkan: "Ya Allah ampunilah dia, kasihanilah dia, jagalah dia dari siksa neraka, masukkanlah dia kedalam surga dan yang semisalnya. Akan tetapi jika ia mendatangi kuburan dan berdo'a untuk dirinya sendiri maka termasuk kategori bid'ah karena mengkhususkan atau menentukan tempat dilakukannya do'a, yang ia termasuk ibadah (Syariat).

2. Membaca Al Qur'an di kuburan dan beristighatsah kepada penghuninya

Membaca Al Qur'an di atas kubur adalah bid'ah dan tidak pernah disyariatkan. Dan jika kepergiannya ke kuburan (baik kuburan umum atau kuburan orang yang dianggap sebagai wali) untuk beristighatsah kepada mereka, minta tolong dan minta kemudahan maka ini sudah masuk kategori syirik besar, jika seseorang hendak beristighatsah, berdo'a dan minta dilepaskan dari kesusahan maka yang bisa menjawab dan memenuhi semua itu hanyalah Allah Subhannahu wa Ta'ala .

V. TENTANG BEROBAT DENGAN AL QUR'AN

1. Ruqyah (jampi-jampi) dengan Al Qur'an

Ruqyah atau jampi-jampi baik dengan Al Qur'an, dzikir-dzikir, dan doa-doa selagi tidak mengandung unsur kesyirikan dan kalimatnya bisa difahami maknanya tidak apa-apa dan dibolehkan. Selain itu harus diyakini bahwa itu hanya sebab yang sama sekali tidak berpengaruh tanpa takdir dan izin Allah. Dari Auf bin Malik, Nabi bersabda:
"Tidak apa-apa dengan ruqyah selagi tidak mengandung unsur syirik." (HR. Muslim)

2. Menggantungkan ayat Al Qur'an di leher/anggota badan lainya (sebagai jimat)

Hal ini juga tidak diperbolehkan dengan alasan sebagai berikut:
  • Keumuman hadits tentang larangan menggantungkan jimat dengan tanpa mengecualikan ayat Al Qur'an.
  • Untuk preventif (penjagaan), karena kalau jimat dari ayat Al Qur'an bisa dipakai ada kemungkinan merembet ke yang lainya.
  • Tidak terlepasnya manusia dari aktivitas biologis, seperti buang air, mandi, hubungan suami isteri dan sebagainya, dimana disitu tidak selayaknya membawa tulisan ayat Al Qur'an.

    Adapun jimat selain ayat Al Qur'an maka larangannya lebih keras lagi, karena termasuk syirik, sebagaimana sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam :
    "Barangsiapa mengagantungkan tamimah (azimat) maka ia telah syirik." (HR. Imam Ahmad dalam musnadnya 4/156)
3. Berobat dengan air yang dicelupkan di dalamnya tulisan ayat Al Qur'an

Sebagian ahli ilmu membolehkan hal ini dengan mengibaratkan sebagaimana ruqyah. Namun yang lebih benar bukan begitu, karena yang diajarkan oleh Nabi n adalah dengan membacanya secara langsung lalu meniupkannya ke anggota badan yang sakit, atau meniupkannya ke air, lalu meminumkan air tersebut kepada yang sakit. Hendaknya kita mengikuti cara-cara yang telah dianjurkan ini karena lebih utama dan lebih selamat. Walahu 'alam.

4. Mengambil berkah dari air yang dicelupkan didalamnya ayat-ayat Al Qur'an

Berkah disini bisa untuk keluasan harta kepandaian atau ilmu, kesehatan dan sebagainya.Dalam kasus ini tidak pernah ada riwayat yang menyebutkan Nabi n pernah memberi izin atau rukhsah untuk melakukannya. Dan untuk keperluan diatas sudah ada doa-doa yang dianjurkan, jadi kalau seseorang sudah merasa cukup dengan apa yang disyariatkan, maka Allah Subhannahu wa Ta'ala akan menjadikan kecukupan dan tidak perlu cari-cari yang lain yang tidak diketahui secara pasti sumber dan kebenarannya.

(Sumber, Bida'un Naas fil Qur'an, dari fatwa-fatwa Syaikh Bin Baaz, Syaikh Al-Jibrin, Syaikh Al-Fauzan dan Lajnah Daimah) (Dept. Ilmiah)

Nuruddin Mahmud Zanki (511-569 H) bag.1

Share |
Dia penguasa Syam, Raja yang adil, Nuruddin (Cahaya Agama), Nashir (Pembela), Amirul Mukminin, Raja yang bertaqwa, Singa Islam, Abul Qasim Mahmud bin Atabik Qasim ad-Daulah Abu Sa’id Imaduddin Zanki bin Al-Amir Al-Kabir Aqsanqir At-Turki As-Sulthani Al-Milkasyahi.

Ibnu Katsir Rohimahullah berkata: “Ia dilahirkan saat terbit matahari, hari Ahad, 17 Syawwal, tahun 511 H, di Halb. Ia tumbuh dalam pemeliharaan ayahnya, penguasa Halb, Maushul dan banyak negeri lainnya.
Ia belajar Al-Qur’an, berkuda, dan memanah. Ia seorang pemanah yang jitu, pemberani, mempunyai kemauan yang tinggi, niat yang baik, kehormatan yang melimpah, dan agama yang jelas”.

Pria ini muncul pada saat yang genting dalam sejarah umat Islam. Sebab umat Islam pada saat itu menghadapi perpecahan, kerusakan, dikuasai para musuh, dan cara ibadah baru yang tersebar dimana-mana.

Para penguasa atau raja pada saat itu masing-masing menguasai negeri-negeri kecil, yang satu sama lain terjadi perpacahan, persaingan, dan perseteruan. Kaum salibisme menumbuhsuburkan kerusakan di negeri Syam, setelah mereka menguasai sejumlah benteng dan kota. Sementara ubudiyah kaum Bathiniyah (kebatinan) menguasai Mesir; maka berkibarlah panji bid’ah dan turunlah panji Sunnah. Suatu keadaan yang membutuhkan – bahkan sangat membutuhkan - seorang tokoh yang dapat menyatukan kalimat umat, menghimpun yang terserak, dan mengusir para musuh darinya.

Maka muncullah Nuruddin sebagai pahlawan Perang Salib yang paling cemerlang, yang kecemerlangannya tertoreh pada perang tersebut. Namanya telah diabadikan. Dialah penyulut “api” agama dalam kegelapan dan kelemahan serta mengalahkan kaum salibisme. Pedang tajamnya telah menyambar-nyambar sejak ia masih baru ranum. Ia tidak memasukkan pedang itu ke dalam sarungnya hingga ia didatangi kematian dan setelah matanya terasa sejuk dengan bersinarnya bintang muridnya, Shalahuddin Al Ayubi, ketika Si murid meneruskan dan mengambil alih jejak yang dirintis oleh sang Syahid (insyaallah).

Salah satu dorongan kuat untuk mempelajari biografi tokoh ini –maksudnya Nuruddin- ialah kesamaan kondisi sosial yang memprihatinkan yang dialami umat Islam kala itu dengan kondisi sosial yang kita alami sekarang ini. Sejarah itu akan kembali dengan sendirinya. Maka membicarakan biografinya adalah agar dapat mengambil manfaat dari semangat masa lalu untuk solusi masa kini.

SIFAT-SIFATNYA
Allah telah menghimpun sesuatu yang sangat banyak dalam diri Nu­ruddin. Allah telah memberikan kecerdasan dan kejeniusan kepadanya, yang membuat dirinya menempati kedudukan yang tinggi tersebut dalam sejarah umat Islam. Di antara sifat-sifat Nuruddin adalah sebagai berikut:

Ketakwaan dan Keshalihan.
Nuruddin adalah seorang yang bertakwa, shalih, wara', zahid, takut kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, giat beribadah, membaca wirid-wirid, melakukan qiya­mul lail, banyak merendahkan diri kepada Allah, berdoa, dan kembali (bertaubat) kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

Ibnu Atsir berkata, membicarakan tentang sifat-sifat Nuruddin: ”Diantara sifat-sifatnya ialah zuhudnya, ibadahnya, dan ilmunya. Ia tidak makan, tidak berpakaian, dan tidak beramal kecuali dengan milik priba­dinya yang ia beli dari bagian rampasan perang untuknya dan dari harta yang tersedia untuk kemaslahatan kaum muslimin.”

Pernah istrinya mengaduh kepadanya karena kesulitan, maka ia memberikan kepadanya tiga kedai di Hims yang menghasilkan dalam setahun sekitar 20 dinar. Ketika istrinya merasa kurang, Nuruddin mengatakan, “Aku tidak punya selain ini, dan seluruh yang ada di tanganku adalah perbendahara­an umat Islam. Aku tidak mau tenggelam dalam Neraka Jahanam karenamu.”
Ia banyak melaksanakan shalat malam, dan memiliki wirid-wirid yang bagus. Ia, sebagaimana dikatakan:
Ia menghimpun dalam dirinya: keberanian dan kekhusyuan kepada  Tuhannya
Betapa indahnya seorang yang banyak berperang berada dalam mihrab.
Demikian pula istrinya, ‘Ashamat Ad-Din Khatun binti Al-Atabik, banyak melaksanakan shalat malam. Pernah suatu malam ia tertidur se­hingga tidak sempat membaca wirid (Al-Qur'annya) yang biasa dilaku­kannya. Maka pagi-pagi ia dalam keadaan marah. Nuruddin bertanya pe­rihal kemarahannya, lalu Si istri mengatakan tentang tidurnya yang keba­blasan sehingga tidak sempat membaca wirid yang biasa dibaca. Sejak saat itu Nuruddin memerintahkan (bawahannya) supaya memukul genderang di dalam benteng pada waktu menjelang pagi untuk memba­ngunkan orang yang tidur pada saat itu untuk melaksanakan qiyamullail (shalat malam), dan memberikan hadiah yang besar kepada pemukul genderang tersebut.

Ahli fikih (faqih) di Baghdad, Abul Fath Al-Asyri mu’id Nidhamiyyah, ia telah menghimpun biografi singkat Nuruddin, berkata: "Nuruddin memelihara shalat tepat pada waktunya secara berjamaah, dengan menyempurnakan segala syaratnya, melaksanakan segala rukun­nya, dan thuma'ninah dalam ruku' dan sujudnya. Ia banyak melaksanakan shalat malam, banyak berdoa dan meren­dahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dalam segala urusannya." Ia melanjutkan: “Telah sampai berita kepadaku dari segolongan kaum sufi yang dapat dipercaya ucapannya, bahwa mereka pernah masuk Al-Quds untuk berkunjung pada hari pengambilalihan Al-Quds, lalu mereka mendengar orang-orang berkata, "Qasim bin Qasim (maksudnya Nuruddin) mempunyai rahasia bersama Allah. Ia tidak mengalahkan ka­mi karena tentaranya yang banyak, melainkan ia dapat mengalahkan kami berkat doa dan shalat malam. Ia shalat malam, mengangkat tangan­nya kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya lalu Allah mengabulkan doa­ dan permintaannya sehingga ia dapat mengalahkan kami."
Ia berkata, “Ini adalah pengakuan orang-orang kafir terhadapnya.”

Ibnu Katsir rohimahullah berkata: "Dia bagus tulisannya, banyak membaca bu­ku-buku agama serta mengikuti sunnah Nabi, memelihara shalat berjama­ah, banyak membaca Al-Qur'an, senang mengerjakan kebajikan, meme­lihara perut dan kemaluan, ekonomis dalam berbelanja makanan dan pa­kaian untuk dirinya dan keluarganya, sehingga dikatakan bahwa ia orang paling fakir pada masanya. Ia lebih banyak mengeluarkan nafkah, tidak menimbun harta dan tidak mementingkan dunia.
Tidak pernah terdengar darinya sebuah kata keji pun, baik ketika sedang marah maupun ketika tidak marah, banyak diam dan bersikap tenang.”

Imam Adz-Dzahabi rohimahullah berkata, "Nuruddin baik tulisannya, banyak membaca, shalat berjamaah, berpuasa, membaca Al-Qur'an, bertasbih, hati-hati dalam makanan, menjauhi dosa-dosa besar, meniru-niru para ulama dan orang-orang pilihan. Semua ini dan sejenisnya telah disebut­kan oleh Ibnu Asakir.”

Al-Muwaffiq Abdul Latif berkata, "Ia makan dari hasil kerjanya sendiri. Kadangkala menulis dan kadangkala membuat alat pembungkus memakai wol, senantiasa dekat dengan sajadah dan mushaf.”

Sabth bin Al-Jauzi berkata, “Ia memiliki beberapa pohon kurma. Ia memintal benang dan membuat manisan, lalu menjualnya secara sembunyi-sembunyi dan memakan dari hasil penjualannya."
Ia juga menuturkan, "Najmuddin bin Salam bercerita kepadaku dari ayahnya bahwa tatkala bangsa Eropa memasuki Dimyath, Nuruddin se­lama 20 hari berpuasa dan tidak berbuka kecuali dengan air sehingga tubuhnya lemah dan nyaris binasa. Ia sangat berwibawa sehingga tidak seorang pun yang berani berbicara dengannya mengenai hal itu."

Pemimpin spiritualnya, Yahya, pernah mengatakan bahwa ia pernah melihat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam dalam mimpinya. Dalam mimpinya, Nabi berkata kepa­danya, "Wahai Yahya, berikan kabar gembira kepada Nuruddin menge­nai hengkangnya bangsa Eropa dari Dimyath."
Maka aku berkata, "Wahai Rasulullah, mungkin ia tidak akan mempercayaiku." Nabi berkata, "Katakan kepadanya bahwa tandanya adalah perang Harim."

Yahya terbangun. Ketika Nuruddin usai melaksanakan shalat Shu­buh, ia segera memanggil Yahya yang segera menghampirinya. Nuruddin berkata kepadanya, "Wahai Yahya, engkau bercerita kepadaku atau aku bercerita kepadamu."

Mendengar hal itu Yahya kaget dan tertegun, lalu berkata, "Aku akan bercerita kepadamu: Aku melihat Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam tadi malam (dalam mimpi), dan beliau berkata untukmu demikian dan demikian."

"Betul demikian," kata Nuruddin menimpali. Yahya berkata, "Demi Allah, wahai Tuanku, apa arti perkataan Nabi bahwa tandanya adalah perang Harim?" Nuruddin menjawab, "Ketika kami bertemu musuh, aku mengkhawatirkan Islam, maka aku menyendiri, memisahkan diri dan melumuri wajahku dengan tanah seraya aku berkata, "Wahai Tuhanku dari Mahmud yang sedang gundah gulana. Agama ini adalah agama-Mu tentara ini adalah tentara-Mu, dan hari ini aku melakukan apa yang selaras dengan karamah-Mu."
Yahya berkata, "Akhirnya Allah memenangkan kami atas mereka."

Keadilannya.
Nuruddin adalah seorang yang adil dan memperhatikan keadilan da­lam segala urusannya, sehingga ia menjadi peribahasa dalam keadilan bahkan ia dinamakan dengan Raja Adil.

Ibnu Atsir berkata, "Sungguh ia telah menutupi bumi dengan biogra­finya yang indah dan keadilannya. Aku telah membaca biografi para raja, namun aku tidak melihat, sesudah Khulafa'ur Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz, yang lebih baik daripada biografinya dan tidak ada yang lebih memperhatikan keadilan daripadanya.”

Ibnu Atsir juga mengatakan, "Adapun keadilannya ialah ia tidak per­nah membiarkan pungutan (pajak) dan kesulitan dalam negerinya sekuat tenaganya, tetapi membebaskan  semua pungutan itu di Mesir, Syam, Aljazirah dan Maushin.

Ia sangat mengagungkan syariat dan memperhatikan hukum-hukum syariat tersebut.
Pernah ada seseorang yang menghadirkannya ke pengadilan, maka ia pun berangkat bersamanya menuju ke pengadilan tersebut. Ia menulis su­rat kepada hakim, Kamaluddin bin Asy-Syahrzuri, berisi pernyataan, 'Aku datang sebagai terdakwa; perlakukanlah aku sebagaimana engkau memperlakukan penuntut itu.’ Ternyata hak itu milik beliau, akan tetapi beliau memberikannya kepada Si penuntut yang menghadirkannya, seraya ber­kata, 'Aku ingin membiarkan apa yang diklaimnya, tapi aku khawatir yang mendorongku untuk melakukan itu adalah kesombongan dan tidak mau datang ke pengadilan Syariah. Maka aku datang, kemudian aku memberikan apa yang diklaimnya.

Ia membangun forum keadilan (Dar Al-'Adl) di negerinya. Ia duduk bersama hakim di sana untuk melayani orang yang dizhalimi, sekalipun ia seorang Yahudi, dari orang yang berbuat zhalim, sekalipun ia putranya atau menterinya yang paling berpengaruh.”

Ia juga berkata dalam bukunya, At-Tarikh Al-Bahir,”Ia mengetahui fiqih menurut Madzhab Imam Abu Hanifah. Ia tidak memiliki sifat fana­tik dalam madzhab, tetapi sikap moderat itulah yang menjadi tabiatnya dalam segala sesuatu.”

Adz-Dzahabi berkata, "Penguasa Syam, seorang Raja yang adil, dia­lah Nuruddin.” Ia juga berkata, "Adalah Nuruddin pembawa dua panji: keadilan dan jihad. Jarang sekali mata melihat orang sepertinya.”

Ibnu Katsir rohimahullah berkata, "Ia melaksanakan pemerintahannya dengan keadilan yang mempesona, mengikuti syariat yang suci, menyelenggarakan berbagai forum keadilan dan memimpinnya sendiri, dan bergabung di dalamnya itu hakim, ahli fiqih dan mufti dari berbagai madzhab.

Pada hari Selasa, ia duduk di masjid yang memiliki serambi agar setiap orang dari kaum muslimin dan ahli dzimmah mudah menemuinya, sehingga ia dapat menyamakan mereka.

Kecemburuan yang Sejati.
Ia memiliki ghirah (kecemburuan) yang sejati terhadap agama Allah dan terhadap kehormatan kaum muslimin. Kedua matanya terbelalak melihat keadaan umat Islam yang begitu memprihatinkan dan kekalahan mereka yang bertubi-tubi. Semua itu sangat menyakitkannya.

Yang perlu diingat dalam pembahasan ini ialah bahwa Nuruddin sa­ngat sedikit tertawa. Ketika pemimpin spiritualnya menasehatinya bahwa tersenyum termasuk wasiat kenabian, maka Nuruddin berkata kepadanya, "Jangan engkau mencela aku, wahai Syaikh! Bagaimana mungkin aku bisa tersenyum sementara ribuan muslimat ditawan kaum kafir yang biadab dan tidak mengenal belas kasih?”
“Dan bagaimana saya bisa tersenyum sementara Masjid Al-Aqsha dikotori oleh musuh”

Cita-cita Luhur
Dia memiliki cita-cita yang luhur dan jiwa yang berambisi besar.
Sekalipun dia tumbuh pada saat dia menyaksikan kelemahan, perpecahan dan kehinaan yang menimpa umat Islam, namun semua itu tidak mema­tahkan semangatnya dan tidak meredupkan tekadnya, bahkan semua itu mendorongnya untuk berusaha menghilangkan bencana tersebut dari umat ini dan berusaha mengembalikan kejayaan serta kemuliaan yang te­lah dirampas darinya.

Cita-cita, dambaan, dan kesibukannya  yang paling utama adalah membebaskan  baitul Maqdis dan mensucikannya dari kotoran salib.
Salah satu yang menunjukkan ketinggian cita dan kebesaran jiwanya adalah bahwasanya tatkala ia berada di Halb, saat kaum salibis mendu­duki dan menguasi Baitul Maqdis, ia membuat mimbar besar dan mem­perelok serta mengokohkannya. Ia berkata, "Ini kami buat untuk diletak­kan di Baitul Maqdis."

Orang-orang pada saat itu mentertawakannya dan menganggapnya tidak mungkin dapat merealisasikan cita-cita tersebut. Tetapi ia tidak memperdulikan hal itu dan tetap memperbaiki mimbar tersebut. Keadaan yang menimpanya tidak ubahnya dengan keadaan yang dialami Nabi Nuh 'Alaihi wa sallam ketika beliau membuat perahu, dan setiap pembesar kaumnya melewatinya selalu menertawakannya.

Dengan membuat mimbar ini, Nuruddin bermaksud untuk membang­kitkan ruh dan semangat serta menghilangkan keputus-asaan yang meng­gelayuli banyak hati umat Islam.
Ternyata Allah mewujudkan cita-citanya tersebut, maka terbebaslah Baitul Maqdis, dan mimbar dapat diletakkan di sana melalui tangan mu­ridnya, Shalahuddin Al-Ayyubi, dan itu terjadi setelah kematian Nurud­din, semoga Allah merahmatinya.

Ibnu Atsir berkata, setelah berbicara tentang Baitul Maqdis: "Ketika pada hari Jum'at yang lainnya, 4 Sya'ban, kaum muslimin shalat Jum'at di dalamnya. Bersama mereka ada Shalahuddin, ia shalat di Qubbatush Shakhrah, sementara khatib dan imam adalah Muhyiddin bin Az-Zaki, qadhi Damaskus.

Kemudian Shalahuddin menggaji khatib dan imam shalat lima waktu secara resmi dan memerintahkan untuk membuatkan mimbar untuknya. Maka dikatakan kepadanya, "Sesungguhnya Nuruddin Mahmud telah membuat mimbar di Halb, ia telah menyuruh pembuat mimbar tersebut supaya lebih membaguskannya dan mengokohkannya. Beliau berkata saat itu: ‘Ini kami buat untuk dipajang di Baitul Maqdis’”. Para tukang kayu membuat mimbar tersebut selama beberapa tahun yang belum pernah dibuat dalam Islam sepertinya. Kemudian ia memerintahkan agar membawa mimbar tersebut, lalu mimbar tersebut diusung dari Halb dan dipasang di Baitul Maqdis.
Rentang waktu antara pembuatan mimbar dan pengusungannya seki­tar 20 tahun, dan ini adalah salah satu karamah Nuruddin dan niatnya yang baik.

Keberanian yang Tiada Tara
Ibnu Atsir berkata, "Adapun keberaniannya, sungguh tiada taranya.”
“Dalam peperangan ia hanya membawa dua busur dan dua wadah anak panah sebagai senjata dalam berperang."

Al-Quthub An-Naisaburi, seorang faqih, pernah berkata (kepada Nuruddin), "Demi Allah, Anda jangan gadaikan nyawamu dan Islam. Jika Anda gugur dalam peperangan, maka tidak seorang pun kaum muslimin yang tersisa pasti akan terpenggal oleh pedang."

Nuruddin menjawab, "Siapa Mahmud itu, sehingga ia dikatakan de­mikian? Mudah-mudahan karena (kematian)ku, Allah memelihara negeri ini dan Islam, itulah Allah yang tiada Tuhan yang berhak disembah de­ngan hak melainkan Dia.

Ibnu Qasim Al-Hamawi menyifati keberaniannya:
Keberaniannya nampak dalam keceriaan wajahnya
seperli tombak, kelemahlembutannya menunjukkan kekerasan
Dibalik ketegasannya ada kesantunan yang terlatih
Karena Allahlah kekerasan dan kelembutannya.
Adz-Dzahabi berkata, "Ia adalah pahlawan pemberani, sangat berwi­bawa, pemanah jitu, berbadan tegap, banyak beribadah, memiliki rasa takut dan wara' (takut terhadap dosa), serta menginginkan syahadah (mati syahid).

Sekretarisnya, Abul Yasr, pernah mendengar dia memohon kepada Allah agar dibangkitkan dari perut binatang buas dan paruh burung.

Adz-Dzhahabi berkata, "Ibnu Washil berkata: 'Ia adalah orang yang paling kuat, baik hati maupun fisiknya, dan tidak pernah terlihat seorangpun yang lebih hebat di atas kuda daripadanya, seolah-olah ia adalah daging yang tercipta di atas punggung kuda yang tidak bergerak (ko­koh).’"

Adz-Dzahabi berkata, "Ia pernah mengatakan, 'Sekian lama aku mencari syahadah tetapi tidak aku dapatkan.' Saya berkata, ‘Ia telah mendapatkannya di atas pembaringannya, dan berdasarkan pengakuan manusia: Nuruddin Asy-Syahid.’”

Keberaniannya nampak jelas dalam berbagai peperangan dan berba­gai futuh (pembebasan negeri) yang dilakukannya, yang keberaniannya bisa dibilang sangat langka.
Keberaniannya nampak juga dari pencariannya untuk meraih syaha­dah dan keinginannya untuk mendapatkan syahadah tersebut.

Sekalipun demikian, ternyata Nuruddin rahimahullah meninggal di atas pembaringannya akibat penyakit penyempitan tenggorokan yang menimpa­nya, yaitu pada tahun 569 H.

Rasa  cinta Si pengecut  terhadap dirinya membawanya kepada ketakutan
Sedang rasa cinta pemberani terhadap dirinya membawanya kepada peperangan.

Sebentar lagi akan disebutkan tentang keberaniannya, melalui syair­-syair yang dipersembahkan para penyair untuknya


Kehebatan dan Kerendahan Hatinya
Ia adalah orang yang sangat hebat (sangat berwibawa dan ditakuti), dan dalam waktu yang sama ia juga orang yang sangat rendah hati serta lemah lembut dalam pergaulan, dan memang demikianlah semestinya akhlak para pembesar.

Dia sudah masyhur dengan sifat-sifat tersebut. Ibnul Atsir berkata. "Ia seorang yang sangat hebat sekaligus rendah hati. Secara global, kebaikannya sangat banyak, dan sifat-sifatnya sangat banyak yang tidak mungkin dapat dicakup seluruhnya dalam buku ini.

Adz-Dzahabi menuturkan dari Ibnu Asakir, "Orang yang melihatnya akan menyaksikan kebesaran seorang raja, dan kehebatannya tidak ada yang menandinginya. Jika seorang bercakap-cakap dengannya, ia akan melihat kelembutannya yang mencengangkan. Dikisahkan dari para saha­batnya, baik yang datang maupun yang pergi, bahwasanya dia tidak per­nah mendengar darinya satu kata keji pun, baik dikala ridha maupun se­dang marah."

Ibnu Katsir berkata, "Ia adalah orang yang sangat hebat, berwibawa dan sangat disegani oleh para amir (gubernur). Tidak ada seorang pun yang berani duduk di hadapannya kecuali dengan izinnya. Dan tidak ada seorang amir pun yang dapat duduk tanpa izinnya, selain Amir Naj­muddin Ayyub. Adapun Asaduddin Sirkuh dan Mujidduddin bin Dayah, wakil Halb, dan para pembesar lainnya, mereka berdiri di hadapannya. Sekalipun demikian, apabila seorang faqih (ahli fikih) atau kaum fakir menghadapnya, maka Nuruddin berdiri menghormatinya, berjalan seiring dan mempersilahkan duduk bersamanya di atas sajadahnya dengan penuh kewibawaan dan ketenangan.

Jika ia memberikan seseorang dari mereka sesuatu yang dianggap banyak, maka ia berkata, ‘Mereka adalah tentara Allah, dan berkat doa merekalah kami menang atas para musuh. Mereka mempunyai hak pada Baitul Mal yang lebih besar daripada yang telah kuberikan kepada mereka. Jika mereka ridha terhadap kami dengan sebagian hak mereka, maka mereka memiliki andil atas kita.’”

Sangat Bersemangat Dalam Mengikuti Sunnah
Ia sangat bersemangat dalam mengikuti sunnah, menyebarkan, dan mengamalkannya. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ia banyak mem­baca kitab-kitab agama dan mengikuti sunnah-sunnah Nabi 'Alaihi wasallam.

Sebagai bukti, ia memenangkan sunnah di negerinya, mematikan bid'ah, dan memerintahkan untuk menyerukan adzan dengan: Hayya 'alash shalah hayya 'alal falah. Kedua lafal tersebut tidak dipakai adzan di dua negara ayah dan kakeknya, melainkan beradzan dengan lafal: Hayya 'alal khairil 'amal, karena syiar Rafidhi (simbol Syiah) lebih dominan di sana.

Termasuk salah satu semangatnya untuk mengikuti sunnah ialah bahwa pernah terdengar olehnya penggalan hadits yang berisi bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam keluar dengan menyandang pedang. Maka ia heran dengan berubahnya kebiasaan-kebiasaan manusia, karena telah shahih dari Nabi (bahwa beliau menyandang pedang). Dan bagaimana mungkin dia mengharuskan para prajurit untuk mengawal para amir dan tidak melakukan sebagai­mana yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam?

Kemudian ia memerintahkan kepada pasukan agar menyandang pe­dang tersebut. Kemudian ia keluar pada hari kedua ke rombongan dengan menyandang pedang, demikian pula seluruh pasukan; dengan demikian ia ingin mencontoh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam.

Mencintai Ilmu, Ulama dan Orang-Orang Shalih
Dia sangat mencintai ilmu, ulama dan orang-orang shalih, serta ber­keinginan untuk meniru-niru mereka, mendekati mereka, bersaudara de­ngan mereka, dan mengunjungi mereka.

Ibnul Atsir berkata, "Ia memuliakan ulama dan ahli agama, meng­agungkan, menghormati, duduk bersama, dan bersuka cita bersama me­reka. Tidak membantah ucapan mereka, dan menulis surat kepada mereka dengan tangannya sendiri.”

Ia banyak memberikan hadiah kepada mereka, sebagaimana telah disinggung. Demikian pula ia sangat mencintai ilmu, dan itu terbukti dari banyaknya ia membaca kitab serta kecintaannya mendengarkan hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam.
Ibnu Asakir berkata. "Ia meriwayatkan hadits dan memperdengar­kannya dengan ijazah.

Mengasihi Orang Miskin
Telah disinggung sedikit mengenai hal itu. Salah satu bukti kasih sayang tersebut ialah bahwa apabila hamba sahayanya sudah dewasa, maka dia membebaskannya dan menikahkannya dengan budak wanita­nya. Dan kapan saja rakyat melaporkan (kecurangan) gubernurnya, maka ia akan menurunkannya.

Inilah sebagian sifatnya, maka sudah sepantasnya orang yang mem­punyai sifat-sifat tersebut meraih segala kebaikan dan kemuliaan.

Sumber: Himatul ‘Aliyah

Sekilas Tentang Kehidupan MU'AWIYAH BIN ABU SUFYAN

Share |

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam al-Mushannafnya dari Sa’id bin Jamhan dia berkata: Saya katakan kepada Safinah, “Sesung­guhnya Bani Umayyah mengatakan bahwa sesungguhnya khilafah akan berada di tangan mereka.”

Safinah berkata, ‘Bani Zarqa’ itu bohong, mereka adalah para raja dari raja-raja. Sedangkan awal rajanya adalah Mu’awiyah: Imam al-Baihaqi dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibrahim bin Suwaid al-Armani dia berkata: Saya katakan kepada Ahmad bin Hanbal “Siapakah para khalifah itu?”
Dia menjawab, “Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali”
Saya katakan, “Lalu bagaimana pendapatmu tentang Mu'awiyah?” Dia berkata, “Dia bukanlah orang yang lebih berhak untuk menjadi khalifah daripada Ali selama Ali masih ada.”

As-Salafi meriwayatkan dalam ath-Thuyuriyyaat dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dia berkata: Saya bertanya kepada ayahku tentang Ali dan Mu'awiyah.
Dia berkata, “Saya melihat bahwa Ali banyak musuhnya. Lalu musuh-musuhnya mencari-cari aib dan celanya namun mereka tidak mendapatkannya. Lalu mereka datang kepada seorang laki-laki yang telah diperanginya (Mua'wiyyah). Mereka menyanjung-nyanjungnya sebagai tipu muslihat dari musuh-musuh Ali tersebut.”
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdul Malik bin ‘Umair dia berkata:
Jariyah bin Qudamah as-Sa’di datang menemui Mu’awiyah. Mu’awiyah berkata, “Siapa anda?”

Dia menjawab, “Saya Jariyah bin Qudamah.”
Mu’awiyah melanjutkan, “Lalu apa yang ingin kau lakukan? Tidakkah engkau ini hanyalah seekor lebah?”

Jariyah berkata, “Jangan kau katakan itu! Jika kau katakan itu, berarti kau telah menyerupakan aku dengan binatang yang punya daya sengat yang sangat keras, dan liurnya (madunya) sangat manis. Demi Allah, Mu'awiyah tak lain adalah anjing betina yang menggonggong kepada anjing-anjing. Sedangkan Umayyah tak lebih dari bentuk kata yang diambil dari amat (budak perempuan).”
 
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ibnu al-Fadhl bin Suwaid dia ber­kata: Jariyah bin Qudamah datang sebagai utusan menemui Mu'awiyah. Lalu Mu'awiyah berkata kepadanya, “Kau adalah orang yang setia kepada Ali bin Abi Thalib, dan engkau adalah orang yang menyalakan api dalam bara. Kau berkeliaran di kampung-kampung negeri Arab sambil menumpahkan darah mereka.”

Jariyah bin Qudamah berkata, “Wahai Mu'awiyah, janganlah kau sebut-sebut tentang Ali Sebab kami tidak pemah membencinya sejak kami mencintainya, dan kami tidak pernah membohonginya sejak kami bersahabat dengannya.”
Mu'awiyah berkata, “Celaka kamu wahai Jariyah! Kehinaan apa yang terjadi kepada keluargamu sehingga mereka memberimu nama Jariyah (budak perempuan)?”
Jariyah berkata, “Wahai Mu'awiyah kau sangat hina di mata keluargamu saat mereka memberimu nama Mu'awiyah.”

Mu’awiyah berkata, “Benar-benar kamu orang yang tidak memiliki ibu!”
Jariyah berkata, "Ibu saya adalah wanita yang melahirkan saya. Sesungguhnya pedang-pedang yang kami bawa untuk memerangimu di Shiffin masih ada di tangan.”
Mu’awiyah berkata, “Apakah kau mengancam saya?”

Jariyah berkata, “Sesungguhnya engkau belum pernah menguasai kami dengan kekerasan dan tidak pernah menaklukkan kami dalam sebuah peperangan. Namun kamu memberikan janji dan kesepakatan kepada kami. Jika kamu menetapi janji maka kami akan menetapi sesuai dengan kesepakatan, dan jika kamu menginginkan yang lain maka sesungguhnya kami masih mempunyai banyak tentara yang berdiri di belakang kami. Kami masih memiliki baju-baju besi yang kuat. Jika kamu memulai melakukan pengkhianatan, maka kami akan maju dengan langkah yang lebih panjang.”
Mu’awiyah berkata, “Semoga Allah tidak menciptakan lebih banyak manusia-manusia sepertimu.”

Ibnu ath-Thufail meriwayatkan dari ‘Amir bin Watsilah (dia adalah seorang sahabat), bahwa dia datang menemui Mu'awiyah. Mu'awiyah berkata kepadanya, “Bukankah kamu salah seorang pembunuh Utsman?”
Dia berkata, “Tidak, saya adalah orang yang ada di situ, dan saya bukan orang yang menolongnya.”

"Lalu apa yang menghalangimu hingga kamu tidak menolongnya?”, tanya Mu'awiyah.
Dia berkata, “Sebab tidak ada seorang Muhajir dan Anshar pun yang menolongnya.”
Mu'awiyah berkata, “Bukankah telah sampai waktunya kepada mereka untuk menolong dan membantunya?”

Dia berkata, “Lalu apa yang menghalangimu untuk membantunya, wahai Amirul Mukminin, padahal kamu memiliki massa dan rakyat di tanah Syam?”
Mu'awiyah berkata, “Bukankah tuntutanku atas kematian Utsman merupakan bantuanku kepadanya?”

Abu Thufail tertawa mendengar ucapan Mu'awiyah. Lalu dia berkata, “Sikapmu kepada Utsman adalah laksana perkataan seorang penyair:
"Saya tidak akan senang kepadamu jika kamu meratapi aku setelah aku mati
namun di masa aku hidup tak pernah mendukungku"
Asy-Sya'bi berkata: Orang yang pertama kali berkhutbah sambil duduk adalah Mu'awiyah. Ini dia lakukan tatkala badannya kegemukan dan perutnya besar. (Diriwayatkan oleh Abu Syaibah).

Az-Zuhri berkata: Orang yang pertama kali mendahulukan khutbah 'Ied daripada shalat adalah Mu'awiyah. (Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Mushannafnya).
Sa'id bin al-Musayyib berkata: Orang yang pertama kali menyuruh adzan pada shalat led adalah Mu'awiyah. Dan orang yang pertama kali mengurangi takbir adalah Muawiyah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah).

Dalam kitab al-Awail karangan al-Askari dia berkata: Muawiyah adalah orang yang pertama kali membuat pos surat dalam Islam. Juga orang yang pertama kali menjadikan orang-orang yang dikebiri se­bagai penjaga-penjaganya untuk kebutuhannya yang sangat khusus.
Dia adalah orang yang pertama kali dipermainkan oleh rakyatnya.
Dia juga orang yang pertama kali dikatakan kepadanya,
"Assalamu 'alaika ya Amirul Mukminin warahmatullah wa­barakatuhu, ash-shalata yarhamukallah.

Orang yang pertama kali membuat stempel. Dia menyerahkan tugas ini kepada Ubaidillah Aus al-Ghassani. Dia menyerahkan stempel dan padanya tertulis: “Setiap amal pasti ada balasannya”.

Hal ini terus berlangsung hingga masa khilafah Abbasiyah. Sebab dibuatnya stempel adalah bahwa dia memerintahkan seseorang untuk memberikan uang sebanyak seratus ribu, namun ternyata orang itu membuka surat dan menulisinya menjadi dua ratus ribu. Tatkala hal itu diajukan kepada Mu'awiyah, dia mengingkari pengeluaran uang yang seratus ribunya lagi. Maka, sejak itulah stempel dibuat.

Dia juga orang pertama yang membuat dinding pembatas Imam di masjid (Hal ini juga dinisbahkan kepada Utsman).
Dia pula yang memberi ijin untuk melepaskan seluruh kiswah (kain penutup) Ka'bah. Sebelumnya penutup Ka'bah itu disingkapkan sebagiannya saja.
Zubair bin Bakar meriwayatkan dalam kitabnya al-Muwaffaqiyat dari anak saudara az-Zuhri dia berkata: Saya berkata kepada az-Zuhri, “Siapa orang yang pertama kali bersumpah dalam bai'at?” Dia berkata, “Mu'awiyah, dia bersumpah dengan nama Allah atas mereka. Namun di masa Abdul Malik bin Marwan dia bersumpah dengan menggunakan kata thalak dan pembebasan budak.”

Al-Askari daIam kitabnya al-Awail meriwayatkan dari Sulaiman bin Abdullah bin Ma'mar dia berkata: Suatu ketika Mu'awiyah datang ke Makkah atau Madinah. Lalu dia mendatangi masjid kemudian duduk di tengah-tengah jama'ah yang di dalamnya ada Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas dan Abdur Rahman bin Abu Bakar. Semuanya menerima kedatangannya, kecuali Ibnu Abbas. Dia berpaling dari Mu'awiyah. Mu'awiyah berkata, “Saya lebih berhak untuk memangku khilafah daripada orang yang berpaling ini dan juga dari anak pamannya.” (yakni Ali bin Abi Thalib).
Ibnu Abbas berkata, “Mengapa? Apakah karena kau masuk Islam di awal-awal atau kau bersama-sama Rasulullah dan kau kerabat dekatnya?”
Mu'awiyah berkata, “Bukan itu. Namun karena saya adalah anak paman orang yang terbunuh (maksudnya Utsman).”

Ibnu Abbas berkata, “Jika itu alasannya, maka ini -dia menunjuk kepada Abdullah bin Umar- lebih berhak untuk menjadi khalifah.”
Mu'awiyah berkata, "Namun ayahnya mati secara alami.”
Ibnu Abbas berkata, "Kalau begitu dia -dia menunjuk kepada Abdullah bin Umar-lebih berhak untuk memegang khilafah.

Mu'awiyah berkata, “Sayang ayahnya dibunuh oleh seorang kafir.”
Ibnu Abbas berkata, “Kalau itu jawabanmu maka hujjah yang kamu katakan telah batal dengan sendirinya. Sebab anak pamanmu telah dicela oleh kaum muslimin kemudian mereka membunuhnya.”
Abdullah bin Muhammad bin 'Uqail berkata: Mu'awiyah datang ke Madinah. Saat itu dia bertemu dengan Abu Qatadah al-Anshari. Mu'awiyah berkata, “Semua orang datang menemuiku kecuali engkau orang-orang Anshar.”
Abu Qatadah berkata, “Kami tidak memiliki kendaraan untuk datang menemuimu.”
Mu'awiyah berkata, “Lalu kemana unta-unta kalian?”
Abu Qatadah berkata, “Kami sembelih saat kami mengejarmu dan mengejar ayahmu pada perang Badar.”

Kemudian Abu Qatadah melanjutkan, “Sesungguhnya kalian akan menyaksikan setelahku tindakan-tindakan yang egoistis dan mementingkan diri sendiri.”
Mu'awiyah berkata, “Lalu apa yang harus kalian lakukan?”
Abu Qatadah berkata, “Kami diperintahkan untuk sabar.”
Mu'awiyah berkata, “Maka sabarlah kalian!”
Ucapan ini sampai kepada Abdur Rahman bin Hassan bin Tsabit. Maka dia kemudian menyenandungkan sebuah syair.
"Ketahuilah, sampaikan kepada Mu'awiyah bin Harb
Sang Amirul Mukminin ucapanku
Sesungguhnya kami sabar dan akan menunggu hingga hari Pengumpulan dan Perhitungan"
Ibnu Abi ad-Dunya dan Ibnu Asakir meriwayatkan dari Jibilah bin Sahim dia berkata: Saya datang menemui Mu'awiyah bin Abi Sufyan saat dia telah menjadi khalifah. Saya lihat di lehernya ada seutas tali sedangkan seorang anak kecil menariknya.
Lalu saya katakan kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah pantas kau lakukan hal demikian?”
Mu'awiyah berkata, "Wahai orang celaka, diamlah engkau! Sebab saya pernah mendengar Rasulullah bersabda,
"Barangsiapa yang memiliki anak kecil, maka pura-puralah dia menjadi anak-anak." (Ibnu Asakir bahwa riwayat ini sangat asing).
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushannafnya dari asy-Sya'bi dia berkata: Seorang pemuda Quraisy datang menemui Mu'awiyah. Orang itu mencelanya dengan ucapan yang keras. Mu'awiyah berkata, “Wahai anak saudaraku, saya memperingatkanmu dengan peringatan dari sultan (maksudnya dirinya sendiri); sebab sultan itu jika marah dia akan marah laksana marahnya anak kecil dan jika dia memangsa maka dia akan memangsa laksana singa yang garang.”
Juga dari Sya'bi dia berkata: Ziyad berkata: Saya mempekerjakan seorang laki-laki lalu dia melakukan kesalahan yang fatal. Karena khawatir akan dikenakan sanksi dia lari kepada Mu'awiyah. Saya menulis surat kepadanya bahwa sesungguhnya ini adalah adab yang tidak baik.

Lalu dia menulis surat balasan untukku: Sesungguhnya tidak sewa­jarnya saya dan kamu secara bersama-sama memperlakukan manusia dengan satu cara. Janganlah kita selalu berlaku lembut hingga mem­buat manusia tidak segan-segan melakukan pelanggaran, dan jangan pula kita memperlakukannya dengan serba keras hingga membuat manusia akan menceburkan dirinya kepada kehancuran. Maka ber­laku keraslah engkau dengan sekeras-kerasnya dan biarkan saya ber­laku lembut dan penuh kehangatan.

Asy-Sya’bi juga berkata: Saya mendengar Mu’awiyah berkata, “Tidak ada satu pun umat terpecah-pecah kecuali pelaku kebatilan akan muncul dan menang atas orang-orang yang memegang teguh kebenaran kecuali umat ini.”
Di dalam kitab ath-Thuyuriyyat dari Sulaiman al-Makhzumi dia berkata: Mu'wiyah pernah memberikan izin secara umum untuk rakyatnya. Tatkala semua orang sudah ada di majlis itu, dia berkata, “Coba ucapkan kepadaku tiga bait syair orang Arab yang setiap baitnya memiliki maknanya yang berdiri sendiri.”
Orang-orang pada diam. Kemudian muncul Abdullah bin Zubair.
Dia berkata: Ini dia, Abu Khubaib, orator Arab, orang yang paling alim. Selamat datang!
Dia berkata, "Coba katakan kepadaku tiga bait syair dari seorang Arab dimana setiap bait memiliki maknanya yang berdiri sendiri.”
Abdullah bin Zubair berkata, “Dengan harga tiga ratus ribu. “
Mu'awiyah berkata, “Ya.”
Abdullah berkata, “Dengan pilihan, dan kau akan menepati janjimu,”
Mu'awiyah berkata, “Cepat katakan!”
Maka Abdullah bin Zubair mengutip syair Afwah al-Awdi sebagai berikut:
"Kuuji manusia abad demi abad
tak kudapatkan kecuali penipu dan jago omong"
"Kau benar lanjutkan!" kata Mu'awiyah.
"Tidak satu pun perkara yang aku lihat yang lebih sulit
 dari permusuhan kepada orang"
“Kau benar, lanjutkan!” lanjut Mu'awiyah.
"Saya rasakan pahitnya sesuatu demikian mengiris
lalu bagaimana rasa perkara dengan cara meminta".
Imam al-Bukhari an-Nasai dan Ibnu Abi Hatim dalam kitab Tafsimya meriwayatkan -Iafal ini adalah yang ada dalam tafsir Ibnu Abi Hatim- dengan jalur yang bermacam-macam bahwa Marwan pemah berpidato di Madinah. Saat itu dia diangkat sebagai gubernur Hijaz oleh Mu’awiyah dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah memperlihatkan kepada Amirul Mukminin bahwa pemilihan anaknya Yazid adalah baik adanya. Jika dia tidak menyatakan bahwa dia sebagai pengganti se­sudah dirinya, maka sesungguhnya Abu Bakar dan Umar telah menen­tukan pilihannya siapa penggantinya sebelum kematiannya.” (dalam ri­wayat lain: Ini adalah sunnah yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar).

Abdur Rahman bin Abu Bakar yang mendengar pidato itu berkata, "Ini sunnah Kaisar Romawi dan Persia. Karena sesungguhnya Abu Bakar dan Umar tidak pernah memberikan khilafah kepada anak dan kaum kerabatnya, sedangkan Mu'awiyah melakukan ini semata-mata karena rasa sayang dan cintanya kepada anaknya.”
Marwan berkata, "Bukankah engkau orang yang mengatakan kepada kedua orang tuamu 'ah kalian berdua!' (ini merujuk kepada ayat 23 surat al-Isra', pent)."
Abdur Rahman berkata, 'Bukankah engkau anak orang yang terlaknat karena Rasulullah pernah melaknat ayahmu?"
Aisyah berkata, "Marwan itu berbohong, bukan tentang Abdur Rahman ayat itu turun. Ayat itu turun mengenai Fulan bin Fulan; namun yang jelas Rasulullah pernah melaknat ayah Marwan dan Marwan saat itu berada dalam tulang rusuknya. Makanya Marwan termasuk bagian orang yang dilaknat Allah dan Rasulullah."

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam al-Mushannafnya dari 'Urwah dia berkata bahwa Mu'awiyah berkata, "Tidak ada kesabaran kecuali melalui pengalaman."
Ibnu Asakir meriwayatkan dari asy-Sya'bi. Orang yang cerdik di kalangan Arab itu ada empat: Mu'awiyah, 'Amr bin al-'Ash, al-Mughirah bin Syu'bah dan Ziyad. Adapun Mu'awiyah terkenal dengan kesabaran dan kehati-hatiannya. 'Amr bin al-'Ash dalam memecahkan masalah-­masalah yang pelik dan rumit, al-Mughirah dalam kecepatan dan ketanggapannya. Sedangkan Ziyad dalam kemampuannya berkomu­nikasi dengan orang yang sudah tua dan anak yang masih muda.
Asy-Sya'bi juga berkata: Qadhi (hakim) itu ada empat dan orang cerdik itu ada empat juga. Adapun hakim itu adalah: Umar, Ali Ibnu Mas'ud dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan orang yang cerdik itu adalah: Mu'awiyah, 'Amr bin al-'Ash, al-Mughirah bin Syu'bah dan Ziyad.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Qubaishah bin Jabir dia berkata: Saya pernah menemani Umar bin Khaththab, ternyata tidak saya dapatkan seorang pun yang lebih baik bacaan al-Qur'annya dan pemahaman agamanya daripada dia. Saya juga pemah bersama Thalhah bin Ubaidillah, ternyata saya tidak dapatkan seorang yang lebih dermawan darinya, dimana dia memberi tanpa diminta. Saya juga pernah bersama Mu'awiyyah, ternyata tidak saya dapatkan seorangpun yang memiliki kesabaran dan kemampuan untuk berpura-pura bodoh serta kehati-hatian melebihi Mu'awiyah. Saya juga pernah menemani 'Amr bin al-'Ash ternyata tidak saya dapatkan orang yang sangat tegak duduknya daripada dia. Saya juga pernah bersama dengan al-Mughirah bin Syu'bah. Andaikan sebuah kota memiliki delapan pintu dan dia tidak mungkin keluar darinya kecuali dengan tipu muslihat maka dia akan keluar dari pintu-pintu itu.

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Hamid bin Hilal bahwa 'Uqail bin Abi Thalib datang menemui Ali dan meminta uang kepadanya. Dia berkata, “Saya adalah orang yang membutuhkan bantuan dan saya adalah seorang fakir, maka berilah saya harta.”
Ali berkata, “Sabarlah hingga gajiku dibayar bersama dengan kaum muslimin yang lain. Saat itu baru akan saya berikan kepadamu harta yang kamu minta.”

'Uqail ternyata mendesak. Ali berkata kepada seorang laki-laki "Bawalah dia ke toko-toko di pasar lalu ketuklah pintu dan ambillah apa yang ada di toko-toko itu!”
'Uqail berkata, “Apakah kau ingin saya menjadi seorang pencuri?” Ali berkata, “Bukankah engkau juga menginginkan saya menjadi seorang pencuri dengan cara mengambil harta kaum muslimin, lalu saya serahkan kepadamu?”
'Uqail berkata, “Saya akan datang menemui Mua'wiyah!”
Ali berkata, “Terserah kamu!'

Dia datang menemui Mu'awiyah dan meminta harta kepadanya. Mu'awiyah memberinya seratus ribu. Mu'awiyah berkata kepada 'Uqail, “Naiklah ke mimbar lalu katakan kepada mereka bagaimana Ali memperlakukanmu dan bagaimana pula saya memperlakukanmu.”

'Uqail naik ke mimbar kemudian memuji Allah. Dia berkata, “Wahai hadirin yang mulia, sesungguhnya akan saya beritahukan kepada kalian. Sesungguhnya saya menginginkan Ali mengkhianati agamanya, namun dia memilih agamanya. Dan saya menginginkan Mu'awiyah men­jual agamanya kepadaku, ternyata dia memilihku daripada agamanya.”

Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad dari ayahnya bahwa 'Uqail datang menemui Mu'awiyah. Mu'wiyah berkata, "Ini 'Uqail sedangkan pamannya adalah Abu Lahab!”

'Uqail berkata, “Ini Mu'awiyah sedangkan bibinya adalah "sang pembawa kayu bakar.” (merujuk kepada surat al-Lahab, pent)
Ibnu Asakir meriwayatkan dari al-Awza'i dia berkata: Khuraim bin Fatik masuk menemui Mu'awiyah dengan kain yang agak terangkat -dia memiliki betis yang indah-. Maka berkatalah Mu'awiyah, “Andaikata dua betis ini milik seorang wanita.”
Khuraim berkata, “Dalam usiamu yang sudah tua begini, wahai Amirul Mukminin!”

Tokoh-tokoh yang Meninggal di Zamannya

Pada masa kekhilafahan Mu'awiyah ada beberapa tokoh penting yang meninggal. Antara lain: Shafwan bin Umayyah, Hafshah, Ummu Habibah, Shafiyah, Maimunah, Sawdah, Juwairiyah, ‘Aisyah Ummahatul Mukminin radhiallahu 'anha, Labid Sang Penyair, Utsman bin Thalhah al-Hajabi, 'Amr bin al-‘Ash, Abdullah bin Salam mantan pen­deta, Muhammad bin Maslamah, Abu Musa al-'Asyari, Zaid bin Tsabit, Abu Bakrah, Ka'ab bin Malik, al-Mughirah bin Syu'bah, Jarir al-Bajali, Abu Ayyub al-Anshari, Fadhalah bin Ubaid, Abdur Rahman bin Abu Bakar, Jubair bin Muth'im, Usamah bin Zaid, Tsauban, 'Amr bin Hazm, Hassan bin Tsabit, Hakim bin Hizam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu al Yasr, Qutsam bin al-Abbas, Ubaidillah bin al-Abbas, 'Uqbah bin Amir, dan Abu Hurairah yang meninggal pada tahun 59 H. Dia pernah ber­doa, “Ya Allah saya berlindung kepada-Mu dari tahun enam puluhan, dan kepemimpinan anak-anak.” Kematiannya menunjukkan bahwa doanya terkabul. Dan masih banyak lagi sahabat-sahabat yang lain.

Sumber: Tarikh Khulafa'

Tentang Pembaiatan Anak Mu'awiyah: Yazid bin Mu'awiyah

Share |

Pada tahun 50 H, Mu'awiyah menyerukan kepada penduduk Syam untuk membaiat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan khalifah setelahnya jika dia meninggal. Orang-orang Syam pun membaiatnya. Dengan demikian Mu'awiyah adalah orang pertama yang mengangkat anaknya sebagai putra mahkota, dan orang pertama yang mewasiatkan kekhilafahan saat dia masih sehat dan segar bugar. Kemudian dia menulis kepada Marwan, gubernur Madinah untuk mengambil baiat penduduk Madinah.

Marwan kemudian berpidato di depan orang-orang dengan berkata, “Sesungguhnya Amirul Mukminin, memandang perlu untuk mengangkat anaknya sebagai khalifah atas kalian setelahnya. Dia bermaksud untuk menerapkan sunnah Abu Bakar dan Umar."

Abdur Rahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq yang ada di tempat itu bangkit berdiri seraya berkata, “Itu bukan sunnah Abu Bakar dan Umar, ini adalah sunnah kaisar. Karena Abu Bakar dan Umar tidak pernah mewariskan khilafah kepada anak-anaknya, bahkan tidak pula kepada salah seorang keluarganya."

Pada tahun 51 H, Mu'awiyah menunaikan ibadah haji. Dia mengambil baiat penduduk untuk anaknya. Dia kemudian memanggil Abdullah bin Umar. Setelah Abdullah bin Umar datang dia bersyahadat dan berkata, '" Amma ba' du, wahai Abdullah bin Umar, Anda pernah berkata kepada saya bahwa Anda tidak suka tidur satu malam pun yang di dalamnya tidak ada seorang pemimpin. Saya ingatkan kepada Anda jangan sampai Anda memecah-belah kesatuan kaum muslimin atau Anda berusaha merusak hubungan antara mereka."

Ibnu Umar membaca hamdalah, kemudian berkata, "Amma ba'du. Sesungguhnya sebelum engkau telah ada beberapa khalifah yang mempunyai beberapa anak, yang anakmu tidak lebih baik dari­pada anak-anak mereka, namun mereka tidak memutuskan untuk memberikan khilafah kepada anak-anaknya sebagaimana yang kamu lakukan kepada anakmu. Mereka membiarkan kaum muslimin untuk menentukan pilihan mereka dalam mengangkat khalifah. Sedangkan engkau memperingatiku agar tidak memecah belah kaum muslimin. Saya tidak akan pernah melakukan itu. Sesungguhnya saya adalah satu dari sekian banyak kaum muslimin. Jika mereka sepakat dalam satu perkara, maka saya akan bersama mereka. Semoga Allah mem­berikan rahmat kepadamu." Lalu Ibnu Umar keluar.

Mu'awiyah mengutus seseorang untuk menemui salah seorang anak Abu Bakar dan memintanya datang. Tatkala datang, dia membaca syahadat dan berbicara, namun anak Abu Bakar tadi memotong perkataannya seraya berkata, "Sesungguhnya Engkau menginginkan agar kami menyerahkan khilafah yang ada padamu kini kepada anak­mu. Demi Allah, kami tidak akan pernah melakukannya. Demi Allah, kembalikan khilafah dengan cara musyawarah antara kaum muslimin atau kami akan mengacau-balaukan urusan ini.” Dia bangkit dan ber­jalan keluar.

Mu'awiyah berkata, “Ya Allah cukupkanlah dia sebagaimana Engkau sukai.” Mua'wiyyah berkata, “Jangan tergesa-gesa wahai anak Abu Bakar, saya harap Anda jangan mengatakan hal itu kepada pen­duduk Syam sebab saya khawatir mereka mendahuluiku melakukan hal yang tidak baik kepadamu hingga aku beritahukan bahwa engkau telah membaiat kita nanti malam. Setelah itu lakukan apa yang kau mau.”
Kemudian dia meminta Abdullah bin Zubair datang menemuinya.

Dia berkata, “Sesungguhnya engkau ini adalah serigala yang berkoar-­koar, setiap kali kamu keluar dalam lubang kau terjebak ke dalam lubang yang lain. Kau selalu mengagungkan dua orang ini (mungkin yang dia maksud Abu Bakar dan Umar, pent) dan kau tiupkan dalam kerongkongan mereka ucapan-ucapan yang membumbung serta kau bawa keduanya sesuai dengan pendapatmu!”

Abdullah bin Zubair berkata, “Jika kau telah bosan dengan khilafah ini maka mundurlah dan biarkanlah kami membaiat anakmu. Apakah tidak kau lihat bahwa jika kami membaiat anakmu bersamamu, maka kepada siapa kami harus mendengar dan taat? Tak mungkin ada dua baiat sekaligus untuk kalian berdua.” Abdullah bin Zubair keluar dan meninggalkannya.

Mua'wiyyah kemudian berpidato di atas mimbar. Dia memuji Allah dan berkata, "Sesungguhnya kami dapatkan perkataan manusia yang menyimpang. Mereka berkata bahwa Abdullah bin Umar, Abdur Rahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair tidak mau membaiat Yazid, padahal mereka telah mendengar dan menyatakan ketaatan serta telah membaiatnya.”

Orang-orang Syam berkata, “Demi Allah kami tidak rela hingga mereka benar-benar menyatakan baiat di depan khalayak ramai. Jika tidak, kami akan penggal kepala mereka!”

Mua’wiyyah berkata, :”Subhanallah! Alangkah cepatnya manusia akan menimpakan kejahatan kepada orang-orang Quraisy. Saya tidak ingin mendengar perkataan seperti ini dari kalian setelah hari ini.” Lalu dia turun dari mimbar.

Orang-orang ramai membicarakan bahwa Abdullah bin Umar, Abdur Rahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair telah membaiat Yazid, namun mereka bertiga menyatakan, “Tidak! Kami tidak pernah membaiatnya.“
Lalu orang-orang mengatakan, “Ya, mereka tidak pernah mem­baiat Yazid.” Setelah peristiwa itu Mu’awiyah kembali ke Syam.
Dari Ibnu al-Munkadir dia berkata bahwa Ibnu Umar berkata tatkala Yazid dibaiat “Jika dia baik, maka kami rela, dan jika dia jahat menjadi bencana maka kami akan sabar.”

Sumber: Tarikh Khulafa'

Kamis, 06 Januari 2011

Hukum Musik Dan Lagu

Share |
PANDANGAN AL QUR'AN DAN AS SUNNAH:

Allah Ta'ala berfirman: "Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan lahwul hadits untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan." (Luqman: 6)

Sebagian besar mufassir berkomen-tar, yang dimaksud dengan lahwul hadits dalam ayat tersebut adalah nyanyian. Hasan Al Basri berkata,ayat itu turun dalam masalah musik dan lagu. Allah berfirman kepada setan: "Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu." Maksudnya dengan lagu (nyanyian) dan musik.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda: "Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan musik." (HR. Bukhari dan Abu Daud)

Dengan kata lain, akan datang suatu masa di mana beberapa golongan dari umat Islam mempercayai bahwa zina, memakai sutera asli, minum-minuman keras dan musik hukumnya halal, padahal semua itu adalah haram.

Adapun yang dimaksud dengan musik di sini adalah segala sesuatu yang menghasilkan bunyi dan suara yang indah serta menyenangkan. Seperti kecapi, gendang, rebana, seruling, serta berbagai alat musik modern yang kini sangat banyak dan beragam. Bahkan termasuk di dalamnya jaros (lonceng, bel, klentengan).
"Lonceng adalah nyanyian setan." (HR. Muslim)

Padahal di masa dahulu mereka hanya mengalungkan klentengan pada leher binatang. Hadits di atas menun-jukkan betapa dibencinya suara bel tersebut. Penggunaan lonceng juga ber-arti menyerupai orang-orang nasrani, di mana lonceng bagi mereka merupakan suatu yang prinsip dalam aktivitas gereja.

Imam Syafi'i dalam kitabnya Al Qadha' berkata: "Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara batil. Barangsiapa memperbanyak nyanyian maka dia adalah orang dungu, syahadat (kesaksiannya) tidak dapat diterima."

Nyanyian di masa kini:

Kebanyakan lagu dan musik pada saat ini di adakan dalam berbagai pesta juga dalam tayangan televisi dan siaran radio. Mayoritas lagu-lagunya berbicara tentang asmara, kecantikan, ketampanan dan hal lain yang lebih banyak mengarah kepada problematika biologis, sehingga membangkitkan nafsu birahi terutama bagi kawula muda dan remaja. Pada tingkat selanjutnya membuat mereka lupa segala-galanya sehingga terjadilah kemaksiatan, zina dan dekadensi moral lainnya.

Lagu dan musik pada saat ini tak sekedar sebagai hiburan tetapi sudah merupakan profesi dan salah satu lahan untuk mencari rizki. Dari hasil menyanyi, para biduan dan biduanita bisa membangun rumah megah, membeli mobil mewah atau berwisata keliling dunia, baik sekedar pelesir atau untuk pentas dalam sebuah acara pesta musik.

Tak diragukan lagi hura-hura musik baik dari dalam atau manca negara sangat merusak dan banyak menimbulkan bencana besar bagi generasi muda. Lihatlah betapa setiap ada pesta kolosal musik, selalu ada saja yang menjadi korban. Baik berupa mobil yang hancur, kehilangan uang atau barang lainnya, cacat fisik hingga korban meninggal dunia. Orang-orang berjejal dan mau saja membayar meski dengan harga tiket yang tinggi. Bagi yang tak memiliki uang terpaksa mencari akal apapun yang penting bisa masuk stadion, akhirnya merusak pagar, memanjat dinding atau merusak barang lainnya demi bisa menyaksikan pertunjukan musik kolosal tersebut.

Jika pentas dimulai, seketika para penonton hanyut bersama alunan musik. Ada yang menghentak, menjerit histeris bahkan pingsan karena mabuk musik.
Para pemuda itu mencintai para penyanyi idola mereka melebihi kecintaan mereka kepada Allah Ta'ala yang menciptakannya, ini adalah fitnah yang amat besar.

Tersebutlah pada saat terjadi perang antara Bangsa Arab dengan Yahudi tahun 1967, para pembakar semangat menyeru kepada para pejuang: "Maju terus, bersama kalian biduan fulan dan biduanita folanah ... ", kemudian mereka menderita kekalahan di tangan para Yahudi yang pendosa.

Semestinya diserukan: Maju terus, Allah bersama kalian, Allah akan menolong kalian." Dalam peperangan itu pula, salah seorang biduanita memaklumkan jika mereka menang maka ia akan menyelenggarakan pentas bulanannya di Tel Aviv, ibukota Israel -padahal biasanya digelar di Mesir-. Sebaliknya yang dilakukan orang-orang Yahudi setelah merebut kemenangan adalah mereka bersimpuh di Ha'ith Mabka (dinding ratapan) sebagai tanda syukurnya kepada Tuhan mereka.

Semua nyanyian itu hampir sama, bahkan hingga nyanyian-nyanyian yang bernafaskan Islam sekalipun tidak akan lepas dari kemungkaran. Bahkan di antara sya'ir lagunya ada yang berbunyi:
"Dan besok akan dikatakan, setiap nabi berada pada kedudukannya ...
Ya Muhammad inilah Arsy, terimalah ..."
Bait terakhir dari sya'ir tersebut adalah suatu kebohongan besar terhadap Allah dan RasulNya, tidak sesuai dengan kenyataan dan termasuk salah satu bentuk pengkultusan terhadap diri Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam, padahal hal semacam itu dilarang.

Kiat Mengobati virus nyanyian dan musik :

Di antara beberapa langkah yang dianjurkan adalah:
  • Jauhilah dari mendengarnya baik dari radio, televisi atau lainnya, apalagi jika berupa lagu-lagu yang tak sesuai dengan nilai-nilai akhlak dan diiringi dengan musik.

    Di antara lawan paling jitu untuk menangkal ketergantungan kepada musik adalah dengan selalu mengingat Allah dan membaca Al Qur'an, terutama surat Al Baqarah. Dalam hal ini Allah Ta'ala telah berfirman: "Sesungguhnya setan itu lari dari rumah yang di dalamnya dibaca surat Al Baqarah." (HR. Muslim)
    "Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan sebagai penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman."(Yunus: 57)

     
  • Membaca sirah nabawiyah (riwayat hidup Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam) , demikian pula sejarah hidup para sahabat beliau.


Nyanyian yang diperbolehkan:

Ada beberapa nyanyian yang diperbolehkan yaitu:
  • Menyanyi pada hari raya. Hal itu berdasarkan hadits A'isyah:"Suatu ketika Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di sisinya ada dua orang hamba sahaya wanita yang masing-masing memukul rebana (dalam riwayat lain ia berkata: "... dan di sisi saya terdapat dua orang hamba sahaya yang sedang menyanyi."), lalu Abu Bakar mencegah keduanya. Tetapi Rasulullah malah bersabda: "Biarkanlah mereka karena sesungguhnya masing-masing kaum memiliki hari raya, sedangkan hari raya kita adalah pada hari ini." (HR. Bukhari)

     
  • Menyanyi dengan rebana ketika berlangsung pesta pernikahan, untuk menyemarakkan suasana sekaligus memperluas kabar pernikahannya. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Pembeda antara yang halal dengan yang haram adalah memukul rebana dan suara (lagu) pada saat pernikahan." (Hadits shahih riwayat Ahmad). Yang dimaksud di sini adalah khusus untuk kaum wanita.

     
  • Nasyid Islami (nyanyian Islami tanpa diiringi dengan musik) yang disenandungkan saat bekerja sehingga bisa lebih membangkitkan semangat, terutama jika di dalamnya terdapat do'a. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyenandungkan sya'ir Ibnu Rawahah dan menyemangati para sahabat saat menggali parit. Beliau bersenandung:
    "Ya Allah tiada kehidupan kecuali kehidupan akherat maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin."
    Seketika kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya dengan senandung lain:
    "Kita telah membai'at Muhammad, kita selamanya selalu dalam jihad."
    Ketika menggali tanah bersama para sahabatnya, Rasul Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga bersenandung dengan sya'ir Ibnu Rawahah yang lain:
    "Demi Allah, jika bukan karena Allah, tentu kita tidak mendapat petunjuk, tidak pula kita bersedekah, tidak pula mengerjakan shalat.
    Maka turunkanlah ketenangan kepada kami, mantapkan langkah dan pendirian kami jika bertemu (musuh)
    Orang-orang musyrik telah men durhakai kami, jika mereka mengingin-kan fitnah maka kami menolaknya."
    Dengan suara koor dan tinggi mereka balas bersenandung "Kami menolaknya, ... kami menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)

     
  • Nyanyian yang mengandung pengesaan Allah, kecintaan kepada Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan menyebutkan sifat-sifat beliau yang terpuji; atau mengandung anjuran berjihad, teguh pendirian dan memper-baiki akhlak; atau seruan kepada saling mencintai, tomenolong di antara sesama; atau menyebutkan beberapa kebaikan Islam, berbagai prinsipnya serta hal-hal lain yang bermanfaat buat masyarakat Islam, baik dalam agama atau akhlak mereka.


Di antara berbagai alat musik yang diperbolehkan hanyalah rebana. Itupun penggunaannya terbatas hanya saat pesta pernikahan dan khusus bagi para wanita. Kaum laki-laki sama sekali tidak dibolehkan memakainya. Sebab Rasul Shallallahu 'Alahih Wasallam tidak memakainya, demikian pula halnya dengan para sahabat beliau Radhiallahu 'Anhum Ajma'in.

Orang-orang sufi memperbolehkan rebana, bahkan mereka berpendapat bahwa menabuh rebana ketika dzikir hukumnya sunnat, padahal ia adalah bid'ah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
"Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan adalah bid'ah. dan setiap bid'ah adalah sesat." (HR. Turmudzi, beliau berkata: hadits hasan shahih).

Sumber dari: Rasa'ilut Taujihat Al Islamiyah, 1/ 514 - 516.
Oleh: Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Save to PDF

Antara Anak Asuh Dan Anak Angkat

Share |
Anak Bagi Keluarga

Anak dalam keluarga adalah buah hati belahan jiwa. Untuk anak orangtua bekerja memeras keringat membanting tulang. Anak merupakan harapan utama bagi sebuah mahligai perkawinan. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan sebuah keluarga, keturunan dan bangsa setelah agama. Namun, anak adalah karunia Allàh.
"Kepunyaan Allàh-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia karuniakan anak-anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia karuniakan anak-anak lelaki kepada siapa yang dikehendaki, atau Dia menganugrahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendakinya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki". (Asy Syùrà/42:49-50)

Tidak semua mahligai perkawian dianugrahi keturunan, generasi penerus, hingga suami-istri tutup usia. Usia perkawinan yang masih relatif muda yang belum dikaruniai anak belum tentu tak akan mendapatkan keturunan. Allàh megaruniai anak kepada Nabi Ibrahim yaitu Ismà'il dan Ishàq pada usia senja, yang pertama di usia 99 tahun, yang terakhir 112 tahun. Itu terjadi tatkala usia senja dan harapan untuk mendapatkan keturunan sampai pada titik putus. (Muhammad Asy Syaukàni, Fathul Qad?r, 3/140).

Allàh berfirman melalui lisan Nabi Ibrahim: "Segala puji bagi Allàh yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do'a" ('Ibràhim/14:39)

Tabanniy

Tabanniy (adopsi) adalah pengang-katan anak orang lain sebagai anak sendiri. Di jaman Jahiliyah seorang mengangkat seseorang anak lelaki sebagai anaknya dengan mendapatkan hak seperti anak kandungnya. Dipanggil dengan memakai nama ayah angkatnya dan mendapatkan warisan. Rasulullàh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Hàritsah bin Syaràh?l sebagai anaknya sebelum risalah kenabian. Para Sahabat memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin (anak) Muhammad hingga turun ayat: "Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka". (HR. Al Bukhàri).

Islam mengharamkan tabanniy (adopsi) yang diaku sebagai anak kandung, dan Islam menggugurkan segala hak yang biasa didapatkan anak angkat dari mutabanniy (orang yang mengadopsi anak).

"Dia (Allàh) tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandung-mu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Allàh mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan (yang benar). (Al 'Ahzàb/33:4)

Seseorang diharamkan menasabkan anak angkatnya pada dirinya. Islam menyuruh untuk menasabkannya kepada bapak kandungnya seandainya diketahui. Jika tidak, panggillah mereka 'akh fid din (saudara seagama) atau maulà (seseorang yang telah dijadikan anak angkat). Seperti Salim anak angkat Hudzaifah, dipanggil maula 'Abi Hudzaifah. Allàh berfirman; "Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allàh, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka) sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (berdosa) apa yang disengaka oleh hatimu". (Al Ahzàb/33:5)

Islam juga melarang tawàruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkat. Ketika Allàh me-naskh hukum legalisasi anak angkat maka Allàh membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Allàh telah menikahkan Rasulullàh dengan Zainab binti Jahsy Al 'Asadiyyah bekas istri Zaid bin Hàritsah. Dengan tujuan -wallàhu 'a`lam- supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (setelah talak dan habis 'iddahnya). Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 37: "Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (mencerai-kannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu'min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya." (Al-Ahzab: 37)

Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah sebuah kedustaan, mencampurbaurkan nasab (silsilah keturunan), merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram: yaitu ber-khalwat (berkumpulnya mahram dengan yang bukan). Dan mengharamkan yang halal: yaitu menikah. Rasulullàh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang bukan sebenarnya.

"Barangsiapa yang dengan sengaja mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui, maka Surga haram buatnya" (HR. Al Bukhàri dan Muslim)

Ihtidhàn

Ihtidhàn adalah menjadikan seseorang yang bukan anaknya untuk dididik, diasuh dan diperlakukan dengan baik. Ihtidhan berarti membiarkan anak asuh tetap menggunakan nama aslinya, tidak menasabkannya kepada orangtua asuhnya, tidak diwarisi.

Semua kebaikan yang diberikan kepada anak asuh hanya sebatas pada pengertian berbuat baik kepada sesama yang memang dianjurkan oleh syari'at Islam. Anak-anak asuh tetap menjadi orang lain. Ia bukan mahram bagi keluarga yang mengasuhnya. Hal itu berarti harus memperlakukan anak asuh sesuai dengan apa yang telah disyari'atkan Islam sewaktu berinteraksi kepada orang lain yang bukan mahram.

Solusi Jitu

Adalah rahmat Allàh yang Dia tulis dan syari'atkan bagi hamba-hambanya, yang Allàh sediakan untuk kaum Muslimin: yaitu sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan" (HR. Al Bukhàri dan Muslim)

Keluarga yang mengasuh anak orang lain memungkinkan menjadikannya mahram dengan menyusuinya sendiri. Mengenai jumlah bilangan menyusui yang menjadikan anak orang lain mahram para Ulama berbeda pendapat. Imam Màlik meriwayatkan dari 'Ali, 'Ibnu Mas'ùd, 'Ibnu 'Umar dan 'Ibnu 'Abbàs, tidak menentukan jumlah bilangan hanya menyusu saja dengan alasan keumuman ayat 23 dari surat An Nisà', pendapat ini diikuti oleh Sa'id bin Al Musayyib. 'Urwah bin Az Zubair dan Az Zuhri. Tidak terhitung mahram kecuali jika disusui kurang dari tiga kali, menurut Imam Ahmad bin Hanbal, Ishàq bin Ràwaha, 'Abù 'Ubaid dan 'Abù Tsaur, diriwayatkan dari 'A'isyah, Ummul Fadhl, Abdullàh bin Zubair, Sulaiman bin Yasàr dan Sa'id bin Jubair. Berdasarkan: "Satu hisapan atau dua tidak menjadikannya mahram" (HR. Muslim) .

Imam Asy Syàfi'i dan para pengikutnya berpendapat, tidak termasuk mahram jika disusui kurang dari lima susuan berlandaskan pada ayat yang di-naskh bacaanya; "Sepuluh kali susuan menjadikan mahram" Ayat ini lalu di-naskh dengan lima susuan. Dan hadits perintah Rasulullàh Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Sahlah binti Suhayl untuk menyusui Sàlim sebanyak lima kali. Persusuan yang menjadikan mahram manakala bayi masih berumur kurang dari dua tahun menurut kesepakatan Jumhurul Ulàmà'. Lihat Tafsirul Qurànil Azhim oleh Al Hàfizh `Imàduddin Ismà`il bin Katsir, 1/303. (Al Hàfizh `Imàduddin Ismà`il bin Katsir, Tafsirul Qurànil Azhim 1/510, dan Abul Walid Muhammad bin Rusyd Al Qurthubiy, Bidàyatul Mujtahid wa Nihàyatul Muqtashid, 2/26-28)

(Tulisan ini hasil petikan dari tulisan Hayyàm Al Jàsim, majalah Al Furqàn hal.62-63 no. 81 Sya'bàn 1417/ Januari 1998). Asri Ibnu Tsani

Rujukan:
Tafsirul Qur'anil Azhim, Ibnu Katsir.
Majalah Al-Furqan, hal. 62-63 no. 81, Sya'ban 1417/Januari 1998.

Photobucket