Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Kamis, 24 Februari 2011

Daging Anjing Halal ?

Share |
(Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi)

Dewasa ini banyak orang memelihara anjing untuk dikonsumsi dan dijadikan sarana hiburan penyenang hati. Melihat kondisi ini perlu sedikit dijelaskan permasalahan anjing melalui perspektif syariat.

MEMELIHARA ANJING
Saat ini, begitu seringnya kita menyaksikan dan mendengar orang yang memelihara anjing. Bahkan sebagian orang memperlakukannya dengan istimewa melebihi manusia, tidur bersamanya dan diberi makanan melebihi makanan manusia. Padahal, memelihara anjing tanpa suatu kebutuhan, seperti untuk menjaga rumah, kebun, hewan ternak dan berburu tidak diperbolehkan.
Hal ini dijelaskan Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
hadist
Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga binatang ternak
dan anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak satu qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”[1]
‘Abdullâh mengatakan bahwa Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu juga mengatakan, “Atau anjing untuk menjaga tanaman.”
Juga sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadist
Penghuni rumah mana saja yang memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau anjing untuk berburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth. [2]

Demikian juga Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
hadist
Barangsiapa memelihara anjing,
maka amalan shalehnya akan berkurang setiap harinya sebesar satu qirâth,
selain anjing untuk menjaga tanaman atau hewan ternak. [3]

Ibnu Sîrîn rahimahullâh dan Abu Shâleh rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mengatakan,
hadist
Selain anjing untuk menjaga hewan ternak, menjaga tanaman atau untuk berburu

Abu Hâzim rahimahullâh mengatakan dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
hadist
Selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga hewan ternak.”
(HR. al-Bukhâri)

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
hadist
Barangsiapa memelihara anjing
selain anjing untuk menjaga binatang ternak atau pemburu,
maka amalannya berkurang setiap harinya sebanyak dua qirâth
(satu qirâth adalah sebesar gunung Uhud).”
(HR. Muslim 2940)

Iman An-Nawâwi rahimahullâh memandang haramnya memelihara anjing dengan membuat bab dari kitab Riyâdhush-Shâlihîn, bab Haramnya Memelihara Anjing Selain Untuk Berburu, Menjaga Hewan Ternak atau Menjaga Tanaman.[4]

NAJISNYA AIR LIUR ANJING
Air liur anjing adalah najis berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu, Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
hadist
Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian,
maka tumpahkanlah, lalu cucilah 7 kali.[5]

Dalam riwayat lain:
hadist
Dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu bahwa Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,
“ Sucinya bejana kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali,
salah satunya dengan tanah”
(HR Muslim no. 420 dan Ahmad 2/427)
Jumhur ulama berpendapat bahwa air liur anjing itu najis, bahkan sebagian Ulama memandang levelnya adalah mughallazhah (najis yang berat). Sebab, untuk mensucikannya harus dengan air tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
Prof. Thabârah dalam kitab Rûh ad-Dîn al-Islâmi menyatakan,
“Di antara hukum Islam bagi perlindungan badan adalah penetapan najisnya anjing. Ini adalah mu’jizat ilmiyah yang dimiliki Islam yang mendahului kedokteran modern. Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit yang berbahaya, bisa sampai mematikan. Sudah ditetapkan bahwa seluruh anjing tidak lepas dari cacing pita sehingga wajib menjauhkannya dari semua yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.[6]

HUKUM JUAL BELI ANJING
Tidak diperbolehkan menjual anjing dan hasil penjualannya pun tidak halal, baik itu anjing penjaga, anjing untuk berburu atau lainnya.[7]
Yang demikian itu didasarkan pada keumuman hadits yang diriwayatkan Abu Mas’ûd radhiyallâhu'anhu. Beliau berkata:
hadist
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [8]

HUKUM MEMAKAN ANJING
Mayoritas Ulama mengharamkan makan daging anjing, walaupun disembelih secara syar’i, apalagi bila dibunuh dengan cara-cara yang melanggar syari’at. Ada beberapa argumen yang disampaikan mereka berkenaan dengan keharaman daging anjing ini.
1) Anjing termasuk golongan As-Siba’ (hewan buas) yang memiliki taring untuk memangsa korbannya. Padahal Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah melarangnya dalam beberapa hadits, di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z yang berbunyi, bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda:
hadist
Semua yang memiliki gigi taring dari hewan buas
maka memakannya haram. [9]
b. Hadits Ibnu Abbâs radhiyallâhu'anhu yang berbunyi:
hadist
Sesungguhnya Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang makan semua hewan buas yang bertaring.[10]
Berdasarkan hadits-hadits ini, maka harimau, singa, serigala, dan anjing haram dimakan.
2) Adanya larangan memanfaatkan hasil penjualan anjing, menunjukkan keharaman mengkonsumsi dagingnya, sebagaimana disampaikan dalam hadits yang berbunyi:
hadist
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang hasil penjualan anjing,
mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun. [11]
Jika harganya terlarang, maka dagingnya pun haram. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
hadist
Sesungguhnya jika Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu
maka (Allah) haramkan harganya atas mereka”.[12]
3) Ayat yang menerangkan pembatasan hewan yang diharamkan yaitu firman Allâh Ta'ala :
hadist
Katakanlah,
“Tiadalah aku memperoleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi
- karena sesungguhnya semua itu kotor -
atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa,
sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
(Qs al-An’âm/6:145)
Ayat di atas adalah ayat Makiyah, yang turun sebelum hijrah, bertujuan untuk membantah orang-orang jahiliyah yang mengharamkan al-Bahîrah, as-Sâ‘ibah, al-Washîlah dan al-Hâm. Kemudian setelah itu Allâh Ta'ala dan Rasul-Nya mengharamkan banyak hal, seperti daging keledai, daging bighâl, dll. Termasuk di dalamnya semua hewan buas yang bertaring.
Ayat di atas tidak lain hanyalah memberitakan bahwa tidak ada di waktu itu yang diharamkan kecuali yang disebutkan dalam ayat tersebut. Kemudian baru turun setelahnya wahyu yang mengharamkan semua hewan buas yang bertaring, sehingga wajib diterima dan diamalkan.

Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân merâjihkan pengharaman semua hewan buas yang bertaring, beliau menukilkan pernyataan Syaikh Muhammad al-Amien asy-Syinqiti yang menyatakan,
“Semua yang sudah jelas pengharamannya dengan jalan periwayatan yang shahîh dari al-Qur ‘ân atau Sunnah, maka hukumnya haram dan ditambahkan empat yang diharamkan dalam ayat tersebut. Hal ini tidak bertentangan dengan al-Qur‘ân, karena sesuatu yang diharamkan di luar ayat tersebut dilarang setelahnya. Memang pada waktu turunnya ayat itu, tidak ada yang diharamkan kecuali empat tersebut. Pembatasannya sudah pasti benar ada sebelum pengharaman yang lainnya. Apabila muncul pengharaman sesuatu selainnya dengan satu perintah yang baru, maka hal itu tidak menafikan pembatasan yang pertama.[13]
Kebenaran pendapat yang mengharamkan ini dikuatkan juga dengan tinjauan medis bahwa anjing memiliki cacing pita yang berbahaya bagi manusia. Ditambah lagi air liur anjing yang najis, sehingga setidaknya anjing meminum air liurnya yang najis dan mempengaruhi dagingnya. Padahal Rasululâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita memakan daging hewan yang mengkonsumsi najis dan kotoran, sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
hadist
Rasulullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
melarang makan hewan al-Jalâlah (pemakan najis dan kotoran) dan susunya.[14]
Dengan demikian sangat jelas sekali keharaman daging anjing. Apalagi, realitanya banyak orang yang memakan daging anjing yang tidak disembelih secara syar’i. Semoga ini semua dapat membantu menjelaskan permasalahan yang selama ini muncul di masyarakat mengenai keharaman anjing.

Maraji':
1) Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhus-Shâlihîn, Sâlim bin Ied al-Hilâli, Dâr Ibnul-Jauzi.
2) Kitâbul-Ath’imah Syaikh Shâlih bin Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif.
3) Shahîh Fikih Sunnah, Abi Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, Maktabah Taufîqiyah, Mesir
4) Taudhîhul-Ahkâm Syarh Bulûghul-Marâm, Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdurrahmân Ali Bassâm, Maktabah al-Asadi, Mekah.

(Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII)

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar