Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Rabu, 16 Maret 2011

Tiga Golongan Manusia Dalam Menyikapi Syafa'at

Share |
(Tajuk: Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun IX)
Dalam menyikapi masalah syafa’at, manusia terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama, golongan orang-orang yang ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menetapkan syafa’at.
Mereka adalah orang-orang Nasrani, orang-orang musyrik, kaum sufi ekstrim dan Quburiyun (pecinta “ziarah kubur” dan pengalap berkah di kuburan). Ketika mereka mempunyai keperluan terhadap Allâh Ta'âla, maka mereka memintanya melalui syafa’at orang yang mereka agung-agungkan. Alasannya, apabila seseorang memerlukan sesuatu dari rajapun, maka orang itu memerlukan perantaraan atau syafa’at dari orang-orang dekat raja. Apalagi memerlukan sesuatu dari Allâh Ta'âla, tentu juga memerlukan perantaraan.
Dengan demikian, mereka hakikatnya meminta-minta kepada orang yang diagungkannya, bukan kepada Allâh Ta'âla.
Kedua, golongan Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka ghuluw (berlebihan) di dalam menolak syafa’at. Sehingga mengingkari syafa’at Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam dan syafa’at selain Nabi bagi para pelaku dosa besar.
Ketiga, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Mereka menetapkan adanya syafa’at sesuai dengan apa yang ditetapkan di dalam nash-nash al Qur`ân dan hadits-hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Karena itu, Ahlu Sunnah wal Jama’ah menetapkan syafa’at sesuai dengan persyaratan-persyaratannya.
Setidaknya, inilah tiga golongan manusia dalam menyikapi syafa’at yang disimpulkan oleh para ulama, antara lain oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan.[1]
Dari ketiga golongan di atas, hanya Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang sikap dan pemahamannya benar. Sedangkan dua golongan lainnya adalah golongan sesat.
Golongan pertama, tanpa disadari, telah menyerupakan Allâh Ta'âla dengan makhluk yang serba lemah. Yaitu menyerupakan Allâh Ta'âla dengan raja-raja yang memerlukan adanya wasilah bagi para pemintanya. Maha suci Allâh dari tindakan mereka.
Adapun golongan kedua, yaitu Mu’tazilah dan Khawarij, adalah golongan yang pemikirannya sering menggiurkan kaum pendewa akal dan para aktifis pergerakan. Tidak kurang dari seorang tabi’i sekaliber Yazid bin Shuhaib Abu Utsman al Kufi yang dikenal dengan (Yazid) al Faqir pun hampir terperosok ke dalam pengaruh pemikiran Khawarij.
Imam Muslim rahimahullâh meriwayatkan dengan sanadnya, dari Yazid al Faqir. Dia bercerita:
"Dahulu aku pernah tergiur dengan pemikiran Khawarij (yaitu, mengkafirkan pelaku dosa besar). Maka kami keluar dari negeri kami dalam suatu jama’ah yang berjumlah banyak untuk berhaji. Kemudian kami keluar untuk unjuk kekuatan dan melakukan pembangkangan terhadap manusia. Kami melewati Madinah. Disana ada Jabir bin Abdillâh yang duduk di hadapan satu regu pasukan, (ia) sedang membawakan hadits dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Tiba-tiba Jabir menyebut-nyebut tentang Jahannamiyyun (yaitu orang-orang yang dibakar di dalam Neraka sesuai dengan kadar dosanya, lalu dikeluarkan dari Neraka dan masuk Surga, Red)."
Maka akupun berkata kepada Jabir:
“Wahai sahabat Rasûlullâh, hadits apa yang engkau bawakan ini? Bukankah Allâh Ta'âla telah berfirman:
(QS Ali Imran/3 : 192)
(Ya Rabb kami)
Sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam Neraka,
maka sungguh telah Engkau menghinakannya
(maksudnya tidak mungkin selamat, Red).
(QS Ali Imran : 192)

(QS as Sajdah/32:20)
Setiap kali mereka hendak keluar dari Neraka,
mereka dikembalikan lagi ke dalamnya.
(QS as Sajdah:20)
Jadi apa yang engkau katakan tadi?”
Jabir balik bertanya:
“Apakah engkau membaca al Qur`ân?”
Aku menjawab :
”Ya.”
Jabir bertanya lagi:
“Apakah engkau pernah mendengar kedudukan Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, yang dengannya Allâh mengangkat derajat beliau?”
Aku menjawab :
”Ya.”
Jabir selanjutnya menerangkan:
“Itulah kedudukan terpuji Nabi Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam, yang dengan kedudukan itu Allâh mengeluarkan orang yang dikehendakiNya dari Neraka, dst ...”,
sampai perkataan Yazid al Faqir :
“Jabir menyatakan bahwa ada orang-orang yang kelak akan keluar dari Neraka setelah masuk ke dalamnya...dst.”,
sampai akhirnya Yazid berkata :
“Maka kami kembali dari berhaji. Lalu kami berkata kepada kawan-kawan kami: ‘Aduhai, apakah kalian beranggapan bahwa orang tua itu (Jabir) berdusta atas nama Rasûlullâh?’ Maka kamipun kembali ke jalan yang benar. Demi Allâh, tidak ada lagi sesudah itu yang ingin melakukan pembangkangan terhadap kaum Muslimin, kecuali satu orang saja”. [2]
Jadi, syafa’at tetap bermanfa’at sesuai dengan persyaratan-persyaratannya. Tidak boleh berlebihan di dalam menetapkan syafa’at, seperti orang-orang quburiyun. Dan tidak boleh berlebihan di dalam menolak syafa’at, seperti Khawarij dan Mu’tazilah. Waffaqallâh Ahlas Sunnah.


 [1]

Lihat Syarh al Aqidah al Wasithiyah, Syaikh Shalih al Fauzan, di bawah sub judul ‘Awwal man Yastaftih, Bab al Jannah, wa Awwal man Yadkhuluha, wa Syafa’at an Nabiyyi shallallâhu 'alaihi wasallam.
[2]
Lihat al ‘Iraq fi Ahadits wa Atsar al Fitan, karya Syaikh Masyhur bin Hasan Aal Salman (I/110-111), Maktabah al Furqan, Cet. I, 1425H/ 2004M dan Shahih Muslim Syarh Nawawi, Khalil Ma’mun Syiha (III/50) bersama syarahnya, hlm. 48-49. 
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar