Allah Ta’ala berfirman :
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya memperhatikan ayat – ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang – orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad : 29)
“…Al Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia memberi peringatan kepada orang – orang yang hidup …” (QS. Yasin : 69-70)
Allah Ta’ala menurunkan Al Qur’an untuk orang – orang yang hidup agar mereka dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari – hari dan bukan untuk orang – orang yang mati. Orang yang telah meninggal, amal shalihnya terputus kecuali 3 hal, seperti sabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam,
“Idzaa maatal insaanu inqatha’a ‘amaluhu illa min tsalaatsin shadaqatan jaariyah aw ‘ilmin yutafa’u bihi aw waladin shaalihin yad’uulahu” yang artinya “Jika manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali 3 perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendo’akan kepadanya” (HR. Muslim)
Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,
“(Yaitu) bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasannya seorang manusia tidak memperoleh (pahala) selain apa yang diusahakannya” (QS. An Najm 38-39)
berkata, “Sebagaimana dosa seseorang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, maka demikian pula ganjaran seseorang (tidak dapat dipindahkan/dikirimkan) kepada orang lain, melainkan didapat dari hasil usahanya sendiri. Dari ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah dan orang yang mengikuti beliau beristinbath (mengambil dalil) bahwasannya pahala bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada si mayyit dan tidak dapat dihadiahkan kepada si mayyit, karena yang demikian bukanlah amal dan usaha mereka” (Tafsir Ibni Katsir IV/272, cet. Darus Salam)
Apa yang disebut oleh Imam Syafi’i dalam Tafsir Ibnu Katsir tersebut merupakan pendapat sebagian besar ulama dan juga merupakan pendapat Imam Hanafi, sebagaimana dinukil oleh Az Zubaidi dalam Syarah Ihya’ Ulumuddin X/369 (Ahkamul Janaa-iz hal. 220-221, cet. Maktabah al Ma’arif, tahun 1412 H. oleh Syaikh Albani)
Di dalam kitab Al Ikhtiyaraat al ‘Ilmiyah halaman 54, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Bukan merupakan kebiasaan para ulama salaf, jika mereka mengerjakan puasa, shalat atau haji tathawwu’ atau membaca Al Qur’an, pahalanya dihadiahkan kepada kaum muslimin yang sudah meninggal dunia. Tidak sepantasnya untuk menyimpang dari jalan ulama salaf, karena ia lebih baik dan sempurna”
Lalu bagaimana dengan hadits, “Iqra-uu yaasiin ‘alaa mautakum” yang artinya “Bacakan surat Yasin kepada orang yang akan mati diantara kalian” atau Imam Syaukani dalam Nailul Authar mengartikan “Bacakan surat Yaasiin kepada orang yang sudah mati diantara kalian”
Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh Ahmad V/26-27, Abu Dawud no. 3121, An Nasa-i dalam Amalil Yaum wal lailah no. 1082, Ibnu Majah no. 1448 dan lainnya dan para ulama telah mendha’ifkan atau melemahkan hadits tersebut karena beberapa hal, diantaranya ada rawi yang majhul (tidak dikenal) dan mubham (tidak diketahui namanya) serta hadits tersebut memiliki status mudhtharib.
Urutan perawi hadits tersebut adalah sebagai berikut : para ahli hadits mencatat dari jalan Sulaiman at Taimi, dari Abu Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam …”
Imam adz Dzahabi berkata, “Abu Utsman rawi yang majhul (tidak dikenal)” (Mizaanul I’tidal IV/550 dan Tahdziibut Tahdziib XII/182), Ibnu Mundzir berkata, “Abu Utsman dan ayahnya bukan orang yang masyhur” (‘Aunul Ma’bud VIII/390), Imam Ibnul Qaththan berkata, “Hadits ini ada ‘illat (cacat)-nya, serta hadits ini mudhtharib dan Abu Utsman majhul” (Syarhil Muhadzdzab V/110), Imam Daruquthni berkata, “Hadits dha’if isnadnya dan majhul” (Fathur Rabbani VII/63) Imam An Nawawi berkata, “Isnad hadits ini dha’if, di dalamnya ada dua orang yang majhul (Abu Utsman dan ayahnya)” (al Adzkar hal. 122), alasan lain hadits ini dha’if adalah karena ayahnya Abu Utsman yang merawikan hadits ini mubham (tidak diketahui namanya) juga hadits ini mudhtharib (goncang) karena sebagian riwayat menyebut ayahnya Abu Utsman sebagai rawi dan sebagian riwayat tidak menyebut ayahnya Abu Utsman sebagai rawi.
Untuk keterangan lebih jelas tentang dha’ifnya hadits ini silahkan merujuk ke Kitab al Qaulul Mubiin fii Dha’fi haditsa at Talqin wa iqra-u ‘ala Mautakum Yaasiin oleh Syaikh Ali bin Hasan al Halabi (beliau adalah murid senior Syaikh Albani rahimahullah)
Adapun hadits yang berbunyi, “Barangsiapa menziarahi kubur kedua orangtuanya setiap Jum’at dan membacakan surat Yaasiin (di atasnya), maka ia akan diampuni (dosa)-nya sebanyak ayat ayau huruf yang dibacanya” (HR. Abu Nu’aim dalam Akhbaru Ashbahan II/344-345, dan lainnya) adalah maudhu’ atau palsu, lihat Silsilah ahadits adh Dha’ifah wal Maudhu’ah no. 50 oleh Syaikh Albani.
Dijelaskan dalam hadits tersebut ada rawi yang bernama ‘Amr bin Ziyad Abul Hasan Ats Tsaubani. Ibnu ‘Adiy berkata, “Sanad hadits ini bathil, dan ‘Amr bin Ziyad dituduh oleh para ulama memalsukan hadits”. Imam Daruquthni berkata pula tentangnya, “Ia sering memalsukan hadits” (Mizaanul I’tidal no. 6371 dan Lisanul Mizan IV/364-365)
Sedangkan yang dianjurkan oleh Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam kepada para sahabatnya seusai menguburkan mayit adalah mendoakannya,
“Istaghfiruu liakhiikum wa saluu lahut tatsbiita fainnahu alaana yus-alu” yang artinya “Mohonkanlah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah keteguhan (iman) untuknya, karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya” (HR. Abu Daud II/70, al Hakim I/370, dan al Baihaqi IV/56, al Hakim mengatakan, “Bersanad shahih” dan disepakati oleh adz Dzahabi, an Nawawi mengatakan, “Sanadnya jayyid”, dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz, hadits ini dari jalur Utsman bin Affan ra.).
Juga Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam pernah keluar ke Baqi (tempat pemakaman kaum muslimin) lalu beliau mendoakan mereka. Kemudian ‘Aisyah ra. bertanya tentang hal itu, lalu beliau ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendoakan mereka” (HR. Ahmad VI/252, sanadnya shahih dengan syarat Bukhari-Muslim, lihat Ahkaamul Janaa-iz oleh Syaikh Albani)
Maraji’ :
- Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, Pustaka Imam Syafi’i, Bogor, Cetakan Pertama, Muharram 1426 H/Maret 2005 M.
- Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Darul Haq, Jakarta, Cetakan Ketujuh, Maret 2003, hal 186 s/d 189.
- Yasinan, Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka Abdullah, Jakarta, Cetakan Ketiga, Jumadil Awal 1426 H/4 Juli 2005.
Catatan :
Adapun amalan yang pahalanya bisa sampai kepada si mayit adalah amalan sedekah atas namanya yang dilakukan oleh anak kandungnya sebagaimana hadits berikut ini,
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, “Ada seorang yang berkata pada Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam, ‘Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan meninggalkan harta, tetapi beliau tidak berwasiat, apakah dia akan diberikan ampunan kepadanya jika aku bersedekah atas namanya ?’, Beliau ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam menjawab, ‘Ya’” (HR. Muslim V/73, An Nasa-i II/129, Ibnu Majah II/160, al Baihaqi VI/278 dan Ahmad II/371), hadits – hadits shahih dan hasan yang semakna juga diriwayatkan dari jalur Aisyah ra., Abdullah bin Abbas ra., dan Abdullah bin Amr ra. (lihat Ahkaamul Janaa-iz oleh Syaikh Albani)
Begitu pula dengan amalan puasa nazar, haji nazar maupun haji fardhu yang dilakukan oleh anak kandungnya, maka pahalanya dapat juga sampai kepada si mayit. Berikut dalil – dalilnya :
Yang berkaitan dengan puasa nazar,
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata,
“Datang seorang wanita kepada Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam dan ia bertanya, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah wafat dan dia mempunyai hutang puasa nazar, apakah boleh aku berpuasa untuknya ?’.
Jawab Rasulullah, ‘Bagaimana pendapatmu kalau sekiranya ibumu mempunyai hutang lalu engkau bayar hutang tersebut, apakah hutang tersebut terlunasi darinya ?
Jawab wanita itu, ‘Ya’.
Bersabda Rasulullah, ‘Maka puasalah untuk ibumu, karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan’” (HR. al Bukhari no. 1953, Muslim 3/155-156 dan lainnya)
Yang berkaitan dengan haji nazar,
Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata,
“Sesungguhnya ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam, lalu ia bertanya, ‘Sesungguhnya ibuku bernazar haji, akan tetapi sampai wafat ia belum menunaikan haji, maka bolehkah aku menghajikannya ?’
Jawab Nabi, ‘Ya, hajikanlah untuknya ! Bagaimana pendapatmu kalau sekiranya ibumu mempunyai hutang apakah engkau akan melunasinya ? Tunaikanlah hak Allah ! Karena (hak) Allah lebih berhak untuk ditunaikan’” (HR. al Bukhari no. 1852)
Dan yang berkaitan dengan haji fardhu,
Dari Buraidah ra., ia berkata,
“ … perempuan itu bertanya lagi, ‘Sesungguhnya ibuku belum melaksanakan haji sama sekali, maka apakah boleh aku menghajikannya ?’
Jawab Rasulullah ShallallaHu ‘alaiHi wa sallam, ‘Hajikanlah ia’” (HR. Muslim 3/156)
versi ebook bisa di download di bawah ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar