Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Senin, 13 Desember 2010

ULAMA-ULAMA PEMBELA DAKWAH SALAFIYAH DAHULU HINGGA SEKARANG -IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH-

Share |
Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi
Bagian Pertama dari Tiga Tulisan

Sesungguhnya keistimewaan terbesar yang dimiliki dakwah Salafiyah yang penuh
berkah ini adalah tegaknya dakwah tersebut di atas sunnah yang shahih. Dakwah
ini tidak bersandar kepada hadits-hadits lemah dan palsu. Pada keadaan seperti
itu, para penuntut ilmu syar’i juga telah mengetahui secara jelas tentang
pengertian hadits shahih dan syaratnya. Termasuk syarat terbesar adalah
bersambungnya sanad dengan para perawi yang terpercaya. Ada juga sayarat-syarat
lain, yang sekarang kami tidak membicarakannya dan menyebutkannya. Termasuk
syarat hadits shahih adalah bersambungnya sanad dengan para perawi yang
terpercaya. Maka syarat orang yang menisbatkan dirinya ke dalam dakwah
Salafiyah, dakwah yang berdiri tegak di atas hadits yang shahih, harus memiliki
silsilah dakwah itu sendiri. Artinya dia harus mengambil manhajnya dari para
masyayaikh dan ulamanya yang terpercaya. Para masayaikhnya adalah para ulama
yang mengambil manhajnya dari para masyayaikhnya, dan seterusnya. Orang yang
datang kemudian, mengambil dari orang yang sebelumnya. Seorang murid mengambil
dari syaikhnya. Anak mengambil dari ayah, cucu mengambil dari kakek, dengan
sanad yang bersambung kepada orang-orang yang terpercaya dari kalangan ulama
besar dan tinggi. Meskipun bukan termasuk syarat majlis kita ini, membahas
secara panjang lebar masalah ini hingga keluar dari topik pembicaraan majlis.

Hanya saja, di sini saya akan menyebutkan suatu hal yang penting, berkaitan
dengan sekelompok orang yang masuk dari sana-sini, mengaku-ngaku bermanhaj Salaf
dan mengaku-ngaku menjalankah sunnah. Tetapi bila kamu periksa, perhatikan dan
teliti, kamu tidak mendapatkan silsilah yang shahih dari ahlul ilmi, yang dari
mereka diambil masalah-masalah manhaj dan perkara-perkara aqidahnyanya.
Disamping sanad mereka munqathi’ (terputus), bahkan mu’dhal (terputus dua orang
atau lebih secara berturut-turut), bahkan kadang-kadang mu’allaq mukhalkhal
(terputus dari awal sanad seorang atau lebih)..

Mengetahui masalah ini saja, sudah cukup untuk merobohkan pengakuan-pengakuan
mereka. Sudah cukup untuk menolak perbuatan mereka, serta menghancurkan
persangkaan-persangkaan dan pemikiran-pemikiran mereka. Kita tidak perlu lagi
banyak berdebat dan bicara. Saya berharap kepada saudara-saudaraku supaya
memperhatikan masalah ini, merenungkan dengan seksama, dan memahami dengan
sebaik-baiknya.

Memang dakwah kita berdiri diatas silsilah (mata rantai) para ulama terpercaya.
Ulama yang datang kemudian mengambil dari ulama yang sebelumnya, dan ulama
muta’akhir (belakang) mengambil dari ulama mutaqaddim (dahulu). Ini adalah bukti
kebenaran sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang
dishahihkan oleh Imam besar Ahmad bin Hanbal dan lain-lainnya, bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi,
mereka itu meniadakan perubahan orang-orang yang melampui batas, kedustaan
orang-orang yang berbuat kebatilan, dan penta’wilan orang-orang bodoh”.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘yahmilu hadza al-ilma’ = adalah fi’il
mudhari (kata kerja yang menunjukkan waktu sedang dan akan datang), memberikan
faidah terus menerus dan berkesinambungan. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ‘min kulli kholafinin’ = dari setiap generasi. Sifat keseluruhan ini
sesuai dengan maknanya secara sempurna. Maka, baik di zaman ini atau sebelumnya,
pada setiap generasi (sejak dahulu dan sesudahnya), tidak pernah kosong dari
orang yang menegakkan hujjah untuk Allah. Orang yang menolong Allah Azza wa
Jalla dengan bayyinah (keterangan), meninggikan tauhid dengan burhan (bukti).
Maka tegaklah prinsip ini di atas pondasinya, tegak di atas hujjahnya, dan
dikuatkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Senantiasa ada segolongan dari umatku yang menegakkan kebenaran tidak
membahayakan mereka orang-orang yang menyelisihinya dan tidak pula orang-orang
yang menghinakannya sampai terjadi Kiamat dan mereka tetap dalam keadaannya
demikian”.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ laa yazaalu “(senantiasa} juga
memberi faedah terus menerus. Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “ilaa
an taqumu as-saa’ah” (sampai terjadi kiamat), menguatkan kepada faidah tersebut.

Di sini ada catatan, bahwa kata tha’ifah kadang-kadang diucapkan dengan makna
jama’ah (sekelompok orang). Kadang-kadang diucapkan dengan makna satu orang.
Maka jumlah paling sedikit untuk tegaknya kebenaran yang agung, yaitu kebenaran
yang didakwahkan oleh ulama-ulama kita dan ditegakkan oleh pembesar-pembesar
kita dalam dakwahnya, adalah tidak kosongnya zaman dari satu orang ulama yang
meninggikan kalimah Allah dan menegakkan kebenaran.

Wahai saudara-saudara fillah …

Sebagaimana dikatakan, ini adalah mukadimah yang harus ada, agar persoalannya
dapat tercakup. Yang demikian itu seperti jalan yang sudah diratakan untuk kita
masuki dengan suatu hal sedikit demi sedikit, berupa sebutan baik dan agung
untuk ulama-ulama besar kita pada zaman dahulu hingga sekarang.

Andaikata kita mau menyebutkan secara tuntas, kita pasti memerlukan majlis yang
panjang. Bahkan beberapa majlis, bahkan berhari-hari, berbulan-bulan, dan
bertahun-tahun. Tetapi, mukaddimah di atas adalah petikan yang kami harapkan
bisa memberikan penerangan. Walaupun saya tidak bisa mengatakan sudah cukup dan
tidak pula mengatakan sudah terpenuhi. Hal itu agar dapat menerangi pikiran,
sehingga kita terpacu membahas dan memperhatikan riwayat hidup para ulama yang
akan kita pilih sebagiannya untuk dibicarakan. Sebab kalau tidak demikian (bila
kita menghendaki untuk menyebutkan secara keseluruhan), pasti hal itu akan
menjadi luas tidak terbatas dan menjadi banyak tidak terhitung. Kita akan
membicarakan dalam waktu yang pendek ini beberapa petikan singkat yang berkaitan
dengan ulama-ulama dakwah Salafiyah semenjak dahulu hingga sekarang. Beberapa
ulamanya yang memiliki posisi dan pengaruh di dalam dakwah yang penuh berkah
ini.

Kita tidak ingin memulai dari kalangan sahabat, karena mereka pondasi pertama
dalam dakwah tersebut. Tetapi kami ingin memulai dengan ulama yang mengalami
pertentangan pada masanya, dan kebenaran tidak diketahui kecuali dengan lawannya
sebagaimana yang dikatakan oleh penyair.

Sesuatu itu dinampakkan kebaikannya oleh lawannya
Dengan lawan sesuatu akan menjadi jelas.

IMAM BESAR AHMAD BIN HAMBAL RAHIMAHULLAH

Dia hidup pada masa bergelombangnya aqidah yang rusak dan bergeraknya pendapat
yang tidak bermanfaat. Dia menghadapi keadaan tersebut dengan kokoh, kuat dan
teguh, sehingga jatuh dalam kesusahan ujian dan fitnah. Tetapi tetap sabar dan
teguh, walaupun disiksa dalam fitnah khalqil Qur’an (fitnah aqidah yang
menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk). Beliau dituntut agar diam dari lawannya,
bukan meninggalkan kebenaran. Dia tidak peduli, maka disiksa, dipenjara, diikat,
dan diusir. Dia hadapi semua itu dengan tabah, karena di jalan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan ringan karena di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika datang sebagian sahabatnya berkata kepadanya : “Wahai Abu Abdillah,
andaikata engkau diam saja (maka engkau tidak disiksa)!”. Dia berkata : “Apabila
saya diam dan kamu diam, maka siapakah yang akan mengajari orang yang bodoh dan
kapan akan mengajari orang yang bodoh ?”.

Ini adalah salah satu alamat dan pintu dakwah. Kesabaran dan keteguhan ini
menjadi contoh dan teladan bagi kita dari imam kita. Mereka berhak
mendapatkannya. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka setelah meninggal
dunia. Menjaga mereka untuk kita, ketika mereka masih hidup. Allah meninggikan
nama mereka, karena kesabaran, keimanan, dan amanahnya, serta mereka menegakkan
kebenaran dengan laranganNya dan perintahNya.

Pribadi Imam Ahmad juga mempengaruhi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari. Pada zaman ini
banyak orang menisbatkan kepadanya, bahkan sejak dahulu. Dia mengatakan di dalam
kitabnya, “Maqalat Islamiyyin wa Ikhtilaf Mushallin”, setelah menyebut aqidah
Ahlus Sunnah Ashabul Hadits : “Ini semuanya adalah aqidah Imam Ahmad bin Hambal.
Saya berjalan di atas jalannya, dan mengikuti serta menyeru aqidahnya”. Atau
seperti apa yang dia katakan.

Disini kami menngingatkan suatu hal, yaitu banyak orang-orang khusus maupun
orang-orang umum menisbatkan dirinya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, tetapi
penisbatannya tidak benar. Meskipun mereka menisbatkan kepada namanya, tetapi
kenyataannya tidak menisbatkan kepadanya, baik dalam aqidah maupun manhajnya.

Imam Abul Hasan, dahulu penganut paham Mu’tazilah. Kemudian sebagaimana dalam
kisah yang masyhur, dia berdiri di atas mimbar di hadapan banyak manusia lalu
melepas bajunya dan berkata : “Aku bersaksi kepada Allah, kemudian bersaksi
kepada kalian bahwasanya saya melepas paham Mu’tazilah dari diriku, sebagaimana
saya melepas bajuku ini”. Ini juga merupakan tanda kejujuran kepada Allah,
kejujuran kepada manusia, dan kejujuran kepada diri sendiri dalam mentaati
Allah.

Tetapi suatu hal yang sudah jelas wahai saudara-saudara fillah, kembali dari
sesuatu tidak cukup dalam sehari semalam. Keberhasilan sesudah kotor, tidak
seperti selembar kertas yang disobek dari buku atau perkataan yang ditinggalkan.
Pasti masih terdapat pengaruh-pengaruh kotorannya. Dalam meninggalkan paham
Mu’tazilah atau setelah meninggalkan paham Mu’tazilah, Imam Abul Hasan
Al-Asy’ari belum terlepas dari sisa-sisa yang masih melekat pada dirinya.

Setelah itu, dalam kitabnya “Al-Ibanah fi Ushulid Diyanah”, dan dalam kitabnya
“Maqalat” yang sudah saya isyaratkan tadi, juga dalam kitabnya “Risalah ila Ahli
Tsaghar”, nampak keadaannya secara jelas dan terang. Bahkan dia menjelaskan
secara terang, tanpa ada kesamaran, bahwa dia diatas aqidah Salafiyah.

Memang banyak orang dari kalangan Asy’ariyah yang menisbatkan kepada Abul Hasan.
Mereka itu tidak berada pada jalan Mu’tazilahnya yang pertama, tetapi juga tidak
pada jalan Salafiyahnya yang terakhir. Mereka berada pada tingkatan kedua, bukan
dari Mu’tazilah dan bukan dari Sunnah. Tetapi jalan yang bercampur di dalamnya
antara amal shalih dan amal buruk. Padahal tidak boleh menisbatkan kepada Abul
hasan dalam hal yang sudah ditinggalkannya. Mereka itu menyelisihi Abu Hasan dan
menyelisihi aqidah Salaf, yang dia telah menyatakan untuk mengikuti dan tetap di
atas aqidah tersebut.

Inilah, wahai saudaraku, Imam Ahmad dalam petikan yang sangat sedikit tentang
sikap dan keteguhannya. Dia adalah ulama besar sepanjang sejarah dakwah ini pada
abad-abad pertama.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, Diambil dari
materi ceramah Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Tanggal
3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsayd Surabaya dengan judul A’lam Dakwah
Salafiyah Diterjemahkan oleh Azhar Rabbani dan Muslim Atsari]






Tidak ada komentar:

Posting Komentar